REKENING DONASI MOSSDEF SYSTEM : BANK MU'AMALAT CABANG YOGYAKARTA NOMOR 0117546129 A/N NUGROHO AGUNG WIBOWO atau BANK BRI SYARIAH KCP JOGJA A DAHLAN A/N NUGROHO AGUNG WIBOWO NOREK. 1002252771.

Sabtu, 17 Desember 2011

Bahaya Materialis

Posted by Nugroho Agung Wibowo On 08.34 0 komentar


Salah satu nikmat Allah yang terbesar yang harus disyukuri adalah dijadikannya Islam sebagai agama universal. Namun, karena kecongkakan dan kebodohan yang ada pada manusia, mereka tidak mensyukuri nikmat tersebut bahkan mengingkarinya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam akan terasa layak dan indah jika diterapkan secara utuh. Tetapi akan terasa ganjil, pincang, kaku dan kurang relevan jika diambil sebagian dan ditolak sebagian yang lain, ditambah sebagiannya, dikurangi pada bagian yang lain, demikian seterusnya. Allah Ta'ala berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya." (Q.S. Al-Baqarah : 208)

Pada ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan, yaitu mengamalkan seluruh syariat-syariat-Nya, tidak meninggalkan darinya sedikit pun dan tidak menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah).

Maksud menjadikan hawa nafsu sebagai ilah adalah jika perkara yang disyariatkan sesuai hawa nafsunya dikerjakan, jika tidak ditinggalkan. Justru yang wajib bagi mereka ialah menjadikan hawa nafsunya tunduk terhadap agama dan mengerjakan apa yang disyariatkan sesuai dengan kemampuannya. Adapun terhadap kekurangan yang ada, disebabkan belum atau tidak mampu mengerjakannya, ia harus tetap beriltizam dan berniat untuk mengerjakannya.

Islam juga merupakan agama yang memberikan kebebasan, di mana pada masing-masing jiwa terdapat kehendak dan keinginan, meskipun semua itu tidak terlepas dari kehendak Allah, Dzat Yang Maha Pencipta, Pengatur dan Pemberi Rizqi. Oleh karena itu layaklah kalau setiap makhluk tunduk, taat dan berserah diri hanya kepada-Nya. Inilah kebebasan hidup yang sebenarnya. Dan bukanlah kebebasan itu dengan cara lari dari agama Islam dan berpaling dari perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena tidak ada seorangpun yang lari dari-Nya kecuali ia telah mempersiapkan dirinya untuk diperbudak oleh selain Allah, apakah oleh setan, manusia, dunia, harta, wanita dan sebagainya.

Kalau seseorang sudah diperbudak oleh selain Allah, maka cara apapun akan ditempuhnya demi tercapainya suatu cita-cita, walau pada kenyataannya akan diakhiri dengan kesengsaraan, kecelakaan dan kehancuran (di akhirat). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari (Kitab Al-Jihad, bab Al-Hirasah fil Ghazwi 2/327) dari Abu Hurairah radliyallhu 'anhu bersabda :
"Celaka hamba dinar, dirham, khamisah dan khamilah, jika diberi ridla, jika tidak diberi tidak ridla. Celaka dan merugi, jika tertusuk duri tidak dapat mengeluarkannya." (HR. Bukhari)

Pada hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan betapa rendah, hina dan celaka orang yang menghambakan dirinya kepada emas, perak, baju (dunia). Terhadap musibah yang kecil pun ia tidak mempunyai daya untuk melepaskannya. Sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kabarkan : "Jika tertusuk duri, ia tidak dapat mengeluarkannya."

Makna lain dari hadits ini adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan (terhadap orang yang sepenuhnya menjadikan dirinya hamba dunia) dengan kecelakaan. Ia tidak akan mendapatkan dunia sedikit pun dan tidak akan mampu melepaskan musibah-musibah yang menimpanya. Jika keadaan yang demikian ini menimpa hamba dunia, maka ia dapat terjerumus ke dalam perkara yang besar (syirik). Hal ini karena menghamban dunia menjadi penghalang ketaatan dia pada Allah, sehingga seluruh perkaranya (keridlaan dan kebencian) ia ukur dengan harta (dunia), sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Jika diberi ridla, jika tidak diberi tidak ridla."

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah mengkabarkan sifat yang demikian ini dalam Tanzil-Nya :
"Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) shadaqah, jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya dengan serta merta mereka menjadi marah." (Q.S. At-Taubah : 58)

Demikianlah keadaan seorang yang sangat bergantung pada harta, jabatan, kepemimpinan dan sebagainya. Jika mendapatkan apa yang diinginkan dia ridla, jika tidak dia marah.

Sifat materialis dapat membawa seseorang menjadi pesimis terhadap kehidupan dunia dan akhirat. Bagaimana tidak? Seluruh aktivitas hidupnya tercurah untuk mendapatkan dunia. Sehingga manakala dalam merealisasikan apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya terhalang atau gagal, seolah-olah perkara yang menghalangi itu merupakan musibah yang besar (walaupun hal itu kecil di sisi orang-orang yang beriman). Sebagaimana yang sudah menjadi rahasia umum, apa yang terjadi pada kehidupan orang-orang yang menghabiskan hari-harinya untuk kepentingan duniawi, apakah itu di kalangan pengusaha, pejabat, pegawai dan lain-lain. Bahkan hal yang demikian juga menimpa pada masyarakat kalangan bawah, seperti pembantu rumah tangga, pemulung dan pengangguran.

Sungguh sangat kita sesalkan, bahwa hal yang demikian ini menimpa pada umat Islam atau kaum Muslimin. Padahal sifat ini tidaklah muncul kecuali dari orang-orang yang memalingkan dirinya dari Allah dan Rasul-Nya, tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi dan menjadikan puncak dari pengetahuan mereka. Semua perkara ini telah Allah Ta'ala beritakan dalam firman-Nya dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam paparkan dalam sabdanya. Allah Ta'ala berfirman :
"Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka ...." (Q.S. An-Najm : 30)

Materalisme juga dapat membawa seseorang bersifat egois. Karena segala upaya yang menjadi cita-citanya, ia tidak ingin ada seorang pun yang menyamainya. Keegoisan ini dapat berakibat pada kekikiran, baik dalam segi harta, ilmu, kedudukan dan sebagainya.

Di samping itu sifat materialis juga dapat berakibat fatal. Seluruh perkara yang ingin dicapai harus terwujud, meskipun dengan berbagai cara yang konsekuensinya harus mengorbankan agama atau menghalalkan segala cara. Betapa banyak darah tertumpah, kehormatan tergadai, harga diri ternodai demi tercapainya suatu harapan. Semua ini dapat terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Betapa banyak peperangan yang terjadi antar negara, jatuh dan bangunnya seorang pemimpin, semua itu tidak lain kecuali dilatarbelakangi adanya kepentingan-kepentingan duniawi. Beberapa kejadian yang sering disaksikan oleh mata kepala masyarakat umum, adanya darah yang tertumpah, disebabkan uang logam yang tak ada nilainya. Padahal tidaklah halal darah seorang muslim ditumpahkan, kecuali dengan haknya. Dan bagi siapapun yang telah menghalalkan darah saudaranya tanpa sebab yang syar'i, maka ia telah mencelakakan dirinya. Allah Ta'ala berfirman :
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka padanya dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya." (Q.S. An-Nisa' : 93)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari 12/201 dan Muslim 1676 dari Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu :
"Tidak halal darah seorang Muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara : seorang pezina yang telah menikah, jiwa dengan jiwa (pembunuh), dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) yang memisahkan diri dari jama'ah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kenyataan buruk ini juga terjadi di kalangan para pengusaha atas, menengah dan bawah. Demi tercapainya keuntungan yang maksimal, berbagai cara dan upaya dilakukan. Penipuan, pemalsuan, propaganda yang penuh kedustaan bahkan berani bersumpah dengan nama Allah walaupun terhadap perkara dusta. Memang dengan upaya-upaya di atas, terkadang konsumen merasa yakin dan tertarik apalagi disertai dengan adanya sumpah. Namun semua itu tidak akan berakhir dengan kebaikan dan keuntungan, bahkan sebaliknya. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (1607) dari Abu Qatadah radliyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Hati-hatilah kalian dari banyak bersumpah dalam jual beli, karena sesungguhnya hal itu melariskan (dagangan), namun kemudian menghilangkan (barakah)." (HR. Muslim)

Meskipun cinta dunia merupakan sifat dasar orang-orang kafir, namun hal ini bisa menimpa kaum muslimin sebagaimana banyak terjadi pada zaman yang telah jauh dari zaman kenabian. Oleh karena itu, jika ada seorang hamba melakukan suatu amalan semata-mata karena dunia dan tidak ada baginya keinginan untuk Allah dan hari akhir, maka sebagai balasannya ia tidak mendapat bagian di akhirat.

Sifat cinta dunia tidak akan muncul dari seorang mukmin karena seorang mukmin karena seorang mukmin walaupun keimanannya lemah pasti ada keinginan untuk kehidupan akhirat. Adapun bagi seorang hamba yang beramal karena Allah dan dunia dan keduanya seimbang, maka ia tetap digolongkan seorang mukmin meskipun hal itu mengurangi keimanannya dan keikhlasannya. Lain halnya dengan seorang yang beramal karena Allah saja, tetapi dia mengambil upah dari amalannya dalam rangka untuk menopang ibadahnya seperti mujahid yang mengambil ghanimah. Yang demikian ini tidak mempengaruhi keimanan dan ketauhidannya. Oleh karena itu Allah menjadikan zakat, fa'i dan sebagainya, sebagai sumbangan yang besar dalam menopang kehidupan mereka yang berkecimpung mengurusi umat (agama).

Sebagai orang yang hanya menghambakan dirinya untuk Allah, konsekuensinya adalah beriman kepada hari akhir (pembalasan). Keimanan inilah yang dapat membuahkan sikap untuk tidak terperdaya dengan kehidupan dunia yang penuh dengan hiasan dan senda gurau. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan :
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kalian serta berbangga-bangga dalam banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur dan di Akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Q.S. Al-Hadid : 20)

Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan pada umatnya, tentang fitnah yang akan terjadi pada mereka, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan dari Ka'ab bin 'Iyadh radliyallahu 'anhu :
"Pada setiap umat terdapat fitnah dan fitnah yang terdapat pada umatku adalah harta." (HR. Ahmad 4/160, Tirmidzi 6/629, Ibnu Hibban no. 3223, Al-Hakim 3/318)

Dari keadaan yang demikian, maka bagi hamba Allah yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, hendaknya dapat mengendalikan dirinya dan tidak mudah terbawa arus. Berbagai ujian dan cobaan yang menimpa hendaknya dihadapi dengan kesabaran, karena yang demikian ini membuahkan kecintaan, pujian dan rahmat dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan pada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Q.S. Al-Baqarah : 155)
Demikian apa yang dapat kita sampaikan, mudah-mudahan menjadi peringatan terhadap semua pihak. Dan mudah-mudahan Allah menjauhkan diri dari rasa cinta pada dunia, sehingga menghalangi kita dari mengingat-Nya, takut mati dan lupa dengan akhirat.

Wallahu a'lam bish-shawwab.


Maraji' :
1. Tafsirul Qur'anil Adhim, Ibnu Katsir, cetakan Maktabatun Nurul Ilmiyyah.
2. Fathul Qadir, Imam As-Syaukani, cetakan Maktabatul Ilmiyyah.
3. Zadul Masir, Abul Faraj Al-Jauzi, cetakan Darul Fikr.
4. Al-Jami'li Ahkamil Qur'an, Abu Abdillah Al-Qurthubi, cetakan Maktabah Darul Baz.
5. Jami'ul Bayan, Ibnu Jarir Ath-Thabari, cetakan Darul Fikr.
6. Taisirul Karimir Rahman, Imam As-Sa'di, catakan Muassasatur Risalah.
7. Al-Qaulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid, Ibnu 'Utsaimin, cetakan Darul 'Ashimah.
8. Bahjatun Nadhirin, Asy-Syaikh Salim Al-Hilali, cetakan Dar Ibnul Jauzi.
9. Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, cetakan Darul Fikr.
10. At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur'an, Imam An-Nawawi, tahqiq Abu Abdillah Ahmad bin Ibrahim, cetakan Maktabah Ibnu 'Abbas.

0 komentar:

Posting Komentar