REKENING DONASI MOSSDEF SYSTEM : BANK MU'AMALAT CABANG YOGYAKARTA NOMOR 0117546129 A/N NUGROHO AGUNG WIBOWO atau BANK BRI SYARIAH KCP JOGJA A DAHLAN A/N NUGROHO AGUNG WIBOWO NOREK. 1002252771.
  • Mossdef System adalah kependekan dari Moslem Self-Defence System atau juga bisa disebut dengan Moslem Street Fighting merupakan sebuah komunitas sistem pertahanan diri, pengembangan diri, pembinaan leadership dan pembinaan organisasi. [...]

  • Sebuah sistem pertahanan diri yang mudah di duplikasi, praktis, cepat, efektif dan fleksibel yang merupakan kombinasi dari teknik-teknik beladiri lainnya seperti Krav Maga, Haganah System, Systema SpatNaz, Soko Combat System, Tapak Suci, Jujutsu, Wing Chun, Sambo, Ninjitsu, Aikido, Tinju, Karate, Judo, kempo dan Thai boxing. Tetapi yang diutamakan dalam Mossdef System adalah kesederhanaan dalam menyerang namun membentuk sebuah pertarungan yang sangat efektif. [...]

  • Mossdef System merupakan sebuah sistem pertahanan diri yang diajarkan untuk kaum muslimin baik pria maupun wanita untuk menghadapi berbagai bentuk konfrontasi, aksi premanisme dan aksi tindak kejahatan di sekitar kita. [...]

  • Mossdef System memusatkan pada pelatihan-pelatihan teknik yang berlaku di kehidupan nyata, yaitu kehidupan yang penuh dengan konfrontasi, kekerasan premanisme dan tindak kejahatan, maka dari itu di dalam Mossdef System tidak ada komite dan aturan dalam menerapkan teknik-teknik Mossdef System di lapangan. [...]

Berita

Rabu, 28 Desember 2011

Posted by Nugroho Agung Wibowo On 06.26 1 komentar

Hukum Seputar Haidh & Nifas


Perkara haid atau sering dinamakan menstruasi atau nifas, tidak dimengerti oleh banyak kalangan Muslimah. Sehingga pelanggaran dalam masalah ini sering terjadi dikarenakan tidak mengerti. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami mengajak para Muslimah untuk memahami hukum di seputar haid dan nifas agar menjadi jelas bagi suami dan istri serta segenap remaja putri dalam mengamalkan syariah Allah dalam masalah ini. Dalam hal ini perlu adanya kejelasan bagi semua pihak, bahwa hukum Islam dalam masalah ini tidak hanya diperlukan para wanita untuk mengerti tentangnya, tetapi juga para suami yang akan berhadapan dengan urusan istrinya atau para ayah yang akan berhadapan dengan urusan putrinya yang menginjak usia baligh. Dengan demikian, pihak yang berkepentingan dengan pembicaraan masalah ini adalah segenap kaum Muslimin tidak terkecuali. Namun para wanita Muslimah, tentu lebih utama dalam kemestian untuk mengerti masalah ini.

PENGERTIAN HAID DAN NIFAS

Para Ulama' lughah dan Ulama' fiqih memberikan keterangan tentang pengertian haid / nifas untuk menjelaskan kedudukan hukumnya. Dalam hal ini antara lain disebutkan bahwa Al-Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi telah memaparkan pengertian haid itu sebagai berikut:

“Ketahuilah olehmu bahwa yang dinamakan haid itu ialah darah yang ditumpahkan oleh rahim dengan sifat tertentu. Di dalam Syari'ah telah diberitakan adanya enam nama baginya sebagai berikut:

1). Dinamakan al-haidlu dan ini adalah nama yang populer. Dan dinamakan demikian karena mengalirnya darah itu dari rahim wanita. Karena haid itu secara bahasa artinya adalah mengalir.

2). Dinamakan juga dengan at-thumtsu, Al-Farra' menyatakan: At-thumtsu itu maknanya ialah “darah yang mengalir”. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya di Ar-Rahman 56 yang memberitakan tentang para bidadari: Mereka tidak pernah diperawani oleh siapapun dari manusia dan jin.

3). Dinamakan juga dengan al-ariku , karena adanya hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang berbunyi:

“Apabila wanita telah Arikat (yakni berhaid), maka tidak halal untuk dilihat sedikitpun dari tubuhnya kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (HR. Ahmad )

4). Dinamakan juga dengan adl-dlahiku, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta`ala dalam Surat Hud ayat ke 71:

“Dan istrinya berdiri mendengar berita gembira itu, maka iapun dlahikat .” ( Hud : 71)

Al-Imam Mujahid rahimahullah menjelaskan: “Kata dlahikat di ayat ini maknanya ialah berhaid.”

5). Dinamakan juga al-ikbar , sebagaimana firman Allah dalam Surat Yusuf 31:

“Maka ketika para wanita itu melihat Yusuf, mereka pun akbarnahu .” ( Yusuf : 31)

Ibnu Abbas berkata: “Maknanya ialah bahwa para wanita itu menjadi haid ketika melihatnya.”

6). Dinamakan juga al-i'shar , sehingga hujan lebat itu dinamakan al-i'shar karena keluarnya air dari awan itu seperti keluarnya darah dari rahim dengan deras.”

Demikian Al-Imam Al-Mawardi menjelaskan istilah-istilah haid yang ada dalam Syari'ah, dan kami menukilkannya di sini dengan ringkas. Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Abdillah Ibnu Al-Arabi Al-Maliki menambahkan dua nama di samping keenam nama tersebut sebagai berikut ini:

7). Al-Farku . Dan juga yang ke 8. At-Thumsu .

Kemudian diterangkan pula oleh Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm Al-Andalusi sebagai berikut:

“Yang dikatakan haid itu ialah darah berwarna kehitam-hitaman yang kental yang baunya tidak sedap dan dengan aroma tertentu. Maka kapan saja darah yang demikian ini keluar dari kemaluan wanita, maka tidak halal baginya untuk shalat dan ….”

Al-Imam Muwaffaquddin Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah menambahkan: “Haid itu adalah darah yang mengalir dari rahim wanita bila ia telah mencapai usia baligh, kemudian terus menerus darah itu keluar pada waktu-waktu tertentu.”

Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani menerangkan: “Menurut kebiasaan yang dinamakan haid itu ialah mengalirnya darah wanita dari tempat yang khusus dalam waktu yang tertentu.”

Dalam pada itu, telah diriwayatkan dialog antar Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan A`isyah Ummul Mu'minin sebagai berikut:

“A`isyah menceritakan: Kami keluar dari Al-Madinah, tidak ada tujuan kecuali untuk menunaikan haji ke Makkah. Maka ketika kami telah sampai di tempat yang bernama Sarifa, aku haid. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam ketika itu masuk ke kemahku dan aku dalam keadaan menangis. Beliau menanyai aku: Kenapa engkau, apakah engkau bernifas? Aku menjawab: Ya. Maka beliau pun menjelaskan: Sesungguhnya perkara ini adalah sebagai suatu perkara yang telah ditentukan atas anak-anak perempuan Adam. Maka tunaikanlah segenap manasik haji, kecuali thawaf di Ka'bah.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya, Kitabul Haidl – Bab Al-Amru Bin Nufasa' Idza Nufisna , hadits ke 294).

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa haid itu dinamakan juga dengan nifas dalam istilah Syari'ah. Maka dengan berbagai penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

Haid / nifas itu ialah keluarnya darah dari kemaluan wanita sejak ia baligh. Darah tersebut secara rutin keluar daripadanya setiap bulan sekali dalam beberapa hari sesuai dengan kebiasaan masing-masing. Sifat darah haid itu merah kehitam-hitaman dan kental dengan aroma yang tak sedap dan khas. Darah nifas itu demikian pula sifatnya dan tetapi ia keluar ketika wanita itu usai melahirkan. Dan kadang-kadang haid itu dinamakan pula dengan nifas. Dalam istilah umum haid itu dinamakan menstruasi atau datang bulan.

BEBERAPA KETENTUAN HUKUM DI SEPUTAR HAID DAN NIFAS

Adapun hukum-hukum yang berkenaan dengan haid dan nifas adalah sebagai berikut:

1). Darah haid dan nifas itu adalah darah najis dan kotor, sehingga harus disucikan dengan air dan alat-alat pensuci yang lainnya. (Lihat pembahasan masalah ini dalam SALAFY ed. 42 th. IV halaman 22 – 24, dengan judul AN-NAJASAT).

2). Wanita yang dalam keadaan berhaid ataupun bernifas, dilarang menunaikan shalat apapun, hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai berikut:

“Maka apabila datang darah haid, tinggalkanlah shalat.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya, Kitabul Haidl Bab Istihadhah dari A'isyah Ummul Mu'minin).

3). Wanita dalam keadaan berhaid ataupun dalam keadaan nifas, dilarang berpuasa wajib ataupun sunnah. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda kepada para wanita dalam rangka menerangkan betapa mereka memang adalah anak Adam yang kurang ibadahnya. Beliau menyatakan kepada mereka:

“Bukankah wanita itu bila berhaid dia tidak shalat dan tidak puasa?” Maka para wanitapun menjawab: “Bahkan memang demikian.” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menerangkan: “Yang demikian itulah sebagai bukti kekurangannya dalam perkara agamanya.” (HR. Bukhari dalam Shahih Bab Tarkul Ha'idl As-Shauma dari Abi Sa'id Al-Khudri radliyallahu `anhu ).

4). Wanita dalam keadaan berhaid ataupun nifas tidak dihalalkan thawaf di sekeliling Ka'bah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam tentang masalah ini kepada A'isyah yang sedang berhaid:

“Tunaikanlah manasik hajimu kecuali thawaf di Ka'bah, sampai engkau suci.” (HR. Bukhari )

5). Wanita dalam keadaan berhaid ataupun nifas, tidak dihalalkan untuk beri'tikaf atau tinggal di masjid. Hal ini sebagaimana telah dinyatakan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabdanya sebagai berikut:

“Adapun masjid, maka aku tidak menghalalkannya untuk orang yang junub dan tidak halal pula untuk wanita yang sedang berhaid.” (HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi dalam Sunan keduanya dari A'isyah Ummul Mu'minin radliyallahu `anha ).

6). Wanita dalam keadaan haid ataupun nifas tidak dihalalkan untuk berhubungan seks dengan suaminya. Hal ini sebagaimana yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sebagai berikut:

“Perbuatlah segala sesuatu, kecuali hubungan seks.”

Yakni boleh bagi suami bermesrahan dengan istrinya ketika dalam keadaan haid atau nifas dengan memperbuat segenap tubuhnya kecuali kemaluannya tidak boleh dimasuki oleh kemaluan suami.

7). Suami dilarang menjatuhkan cerai kepada istrinya bila si istri dalam keadaan sedang berhaid dan atau sedang bernifas. Karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam memerintahkan kepada Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab untuk merujuk kembali istrinya yang telah diceraikannya dalam keadaan haid. Sebagaimana hal ini telah diriwayatkan oleh Nafi'maula Ibni Umar sebagai berikut:

“Dari Abdillah bin Umar radliyallahu `anhuma , beliau menceritakan bahwa beliau pernah di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menceraikan istrinya dan sang istri dalam keadaan haid. Maka Umar bin Al-Khattab melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam . Maka beliau pun bersabda: .” (HR. Bukhari dalam Shahih nya, Kitabut Thalaq { Fathul Bari jilid 9 hal. 345, hadits ke 5251})

Yakni sejak dijatuhkannya thalaq / cerai setelah suci yang kedua itu, maka mulailah dihitung masa `iddah bagi wanita yang telah dicerai oleh suaminya. Yaitu masa di mana wanita yang dicerai itu dilarang menikah atau membicarakan rencana pernikahan dengan pria lain sampai tiga kali haid dan atau tiga kali masa suci darinya.

KEBOLEHAN DALAM KEADAAN HAID DAN NIFAS :

Adapun perkara yang dibolehkan bagi wanita yang dalam keadaan haid dan nifas adalah sebagai berikut :

1. Berdzikir kepada Allah Ta'ala dan berdo'a kepadaNya. Hal ini diterangkan demikian oleh para Ulama' antara lain Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta'ala :

“Tidak pernah ada hadits yang menyatakan larangan terhadap wanita yang sedang berhaidl untuk berdzikir dan berdo'a. Bahkan adanya hadits yang menyatakan perintah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepada para wanita yang sedang berhaidl untuk keluar ke lapangan di hari raya Ied, sehingga mereka bertakbir bersama kaum Muslimin. Juga beliau sallallahu alaihi wa aalihi wasallam memerintahkan kepada mereka untuk tetap melaksanakan segenap manasik haji kecuali thawaf di seputar ka'bah sehingga merekapun bersama jama'ah haji yang lainnya ikut mengucapkan lafadl talbiah (yang mengandung lafadl dzikir –pent). Demikian pula beliau memerintahkan mereka untuk melaksanakan segenap manasik haji di Muzdalifah dan di Mina serta tempat-tempat lain dari tempat tempat suci dari pelaksanaan manasik haji (yang ditempat-tempat tersebut para jama'ah haji banyak melafadlkan dzikir dan do'a –pent)”. Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 21 halaman 460.

Beberapa riwayat yang diberitakan oleh Syeikhul Islam tersebut di atas adalah sebagai berikut ini :

a. Riwayat Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 971 dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 890 dan riwayat Abu Dawud dalam Sunannya hadits ke 1138 : “Dari Ummi Athiyyah telah menyatakan : Kami diperintah di zaman Rasulillah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam untuk mengeluarkan para wanita ke lapangan pada hari raya (yakni Iedul Fitri dan Iedul Adlha) sehingga kami mengeluarkan para perawan dari rumah tinggalnya juga kami mengeluarkan para wanita yang sedang haidl sehingga mereka tinggal di belakang shaf sehingga mereka bertakbir menirukan kaum Muslimin bertakbir dan mereka berdo'a bersama do'anya kaum Muslimin dimana mereka mengharapkan untuk mendapatkan barakah dan kesucian pada hari itu”.

b. Riwayat Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1650 dari A'isyah Ummul Mu'minin radhiyallahu anha beliau memberitakan : “Aku telah sampai di Makkah dalam perjalanan haji dari Al Madinah An Nabawiyah bersama Rasulillah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dalam keadaan aku belum thawaf di ka'bah dan juga belum sa'ie antara Shafa dan Marwa. Maka akupun mengadukan hal ini kepada Rasulillah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, maka beliaupun bersabda : Kerjakanlah segala manasik haji, hanya saja jangan kamu thawaf di ka'bah sehingga engkau bersuci dari haidlmu”.

2. Membaca Al Qur'an dan memegang mushaf Al Qur'an, hal ini sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hazem dalam Al Muhallanya jilid 1 halaman 94 – 99 :

“Dan membaca Al Qur'an serta sujud dalam membaca ayat-ayat sajdah (yakni sujud tilawah –pent) dan menyentuh mushaf Al Qur'an dan berdzikir kepada Allah Ta'ala adalah boleh. Semua itu boleh dilakukan dengan berwudlu' terlebih dahulu ataupun tidak berwudlu. Dilakukan oleh orang yang dalam keadaan junub ataupun wanita yang sedang dalam keadaan berhaidl, juga boleh. Keterangan yang menunjukkan kesimpulan demikian itu ialah, bahwa pada asalnya menurut hukum Syari'ah : membaca Al Qur'an dan sujud bagi Allah ketika melewati ayat sajdah dan menyentuh Al Qur'an serta berdzikir kepada Allah Ta'ala adalah amalan-amalan yang baik serta disunnahkan untuk mengamalkannya dan diberi pahala bagi mereka yang mengamalkannya. Maka barangsiapa yang beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah terlarang dalam keadaan-keadaan tertentu, dia harus mendatangkan dalil yang menerangkan tentang terlarangnya perbuatan yang demikian”.

3. Bermesrahan dengan suami. Maka seluruh tubuh istri yang dalam keadaan haidl atau nifas itu adalah halal untuk dinikmati oleh suami, kecuali qubul (lubang kemaluan depan) dan dubur (lubang kemaluan belakang). Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tentang hukum suami yang bermesrahan dengan istrinya ketika istrinya dalam keadaan haidl / nifas :

(tulis haditsnya dalam Sunan Abi Dawud jilid 2 halaman 256 nomor hadits 2165)

“Perbuatlah segala sesuatu terhadap istrimu kecuali berhubungan seks”. HR. Abi Dawud dalam Sunannya hadits ke 2165.

4. Melakukan berbagai aktifitas yang baik, selain perkara-perkara yang terlarang atas wanita yang dalam keadaan haidl / nifas. (lihat berbagai larangan atas wanita yang haidl dan nifas dalam SALAFY edisi 03 / th ke 5 / 1425 H / 2004 M, halaman 67 – 69).

AMALAN YANG DIANJURKAN DALAM KEADAAN HAIDH DAN NIFAS

Para wanita yang dalam keadaan haidl dan nifas dilarang menunaikan shalat, padahal shalat itu adalah penghubung antara hamba dengan Allah Ta'ala. Sehingga dalam keadaan demikian sangat dikuatirkan para wanita mengalami kekosongan rohani sehingga mudah ditunggangi syaithan untuk berbuat berbagai kejahatan dan pelanggaran agama. Oleh karena itu para Imam Ahlis Sunnah Wal Jama'ah menganjurkan para wanita yang dalam keadaan haidl dan nifas untuk beribadah dengan beberapa amalan ibadah selain shalat. Anjuran-anjuran itu adalah sebagai berikut :

  1. Diriwayatkan oleh Al Imam Abdur Razaq bin Hammam As Shan'ani dalam Mushannafnya jilid 1 halaman 319 riwayat ke 1222, bahwa Ibnu Juraij menceritakan : “Aku pernah bertanya kepada Atha' : Apakah wanita yang haidl itu diperintahkan untuk berwudlu' pada setiap masuknya waktu shalat yang lima kemudian duduk untuk di tempat shalatnya guna mengucapkan takbir dan berdzikir kepada Allah sesaat ? Atha' menjawab : belum pernah ada yang sampai kepadaku satu riwayatpun yang menganjurkan demikian, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik, sedangkan Ma'mar menyatakan bahwa telah sampai kepadaku riwayat bahwa wanita yang haidl dianjurkan untuk berbuat demikian pada setiap masuk waktu shalat yang lima”.
  2. Diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi dalam Sunannya jilid 1 halaman 231 – 232 dari Muhammad bin Yusuf, beliau menceritakan bahwa Yahya bin Ayyub telah berkata : Aku mendengar Al Hakam bin Utbah berkata : “Mereka para Shahabat Nabi sangat senang bila wanita yang dalam keadaan haidl, untuk berwudlu' seperti wudlu'nya untuk shalat, kemudian bertasbih mensucikan nama Allah (yakni mengucapkan lafadl subhanallah –pent) dan bertakbir (ya'ni mengucapkan lafadl Allahuakbar –pent) pada seiap masuk waktu shalat yang lima”.

Ad Darimi meriwayatkan pula (di halaman 232) dari Abdullah bin Yazid, beliau menceritakan bahwa Said bin Abi Ayyub menceritakan bahwa Khalid bin Yazid As Shadafi memberitakan dari bapaknya yang menceritakan bahwa Uqbah bin Amir Al Juhani memerintahkan kepada wanita yang haid pada setiap masuk waktu shalat yang wajib untuk berwudlu' dan duduk di tempat shalatnya (di rumahnya) kemudian berdzikir kepada Allah dan bertasbih mensucikan Allah.

MASA HAIDL DAN NIFAS YANG NORMAL :

Dalam pembahasan tentang hukum haidl dan nifas, dibicarakan juga tentang masalah berama lama masa haidl dan nifas. Yakni minimalnya berapa lama dan maksimalnya berapa lama. Tentang masalah ini para Ulama' dari kalangan Salafus Shaleh menerangkan demikian :

  1. Al Imam Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi rahimahullah dalam Al Hawi Al Kabir jilid 1 halaman 482 menerangkan : “Bila warna darah yang keluar dar kemaluan wanita itu berwarna merah kehitam-hitaman dan masa keluarnya minimal sehari semalam dan maksimal tidak lebih dari lima belas hari, maka yang demikian ini dinamakan haidl. Tetapi bila masa keluarnya darah itu kurang dari sehari semalam, maka tidak dinamakan haidl tetapi diistilahkan dengan darah yang rusak. Dan bila masa keluarnya darah itu lebih dari lima belas hari maka yang demikian itu dinamakan istihadlah dan bukan haidl”.
  2. Al Imam Abil Qasim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdil Karim Ar Rafi'ie Al Qazwaini Asy Syafi'ie rahimahullah dalam Asy Syarhul Kabier jilid 1 halaman 311 menerangkan : “Bila seorang wanita berhaidl dalam masa yang minimal yaitu sehari semalam, maka gugurlah kewajiban shalatnya. Dan kebiasaannya keumuman wanita masa haidlnya ialah enam atau tujuh hari. Dalam hal ini telah diriwayatkan bahwa Hamnah bintu Jahsyi telah menceritakan : Aku pernah keluar darah haidl dengan sangat deras. Maka akupun minta fatwa dari Rasulillah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tentang apa yang aku alami ini. Maka beliaupun bersabda : Engkau jalanilah masa haidlmu sebagaimana ketentuannya ada dalam ilmu Allah, yaitu enam atau tujuh hari. Kemudian mandilah setelah itu. Maka bila engkau telah melihat bahwa dirimu telah suci dari haidl, maka shalatlah selama dua puluh empat hari (dalam sebulan), atau dua puluh tiga hari (dalam sebulan), dan berpuasalah dan shalatlah pada hari-hari yang suci dari haidl itu. Yang demikian itu adalah amalan yang kamu akan dibalas dengan pahala Allah Ta'ala”.
  3. Al Imam Al Hafidl Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al Kufi Al Abbasi rahimahullah dalam Mushannafnya jilid 4 halaman 188 telah membawakan riwayat dari Waki' bin Al Jarrah bahwa beliau mendengar riwayat dari Ismail bin Abi Khalid yang mengatakan bahwa beliau mendengar riwayat dari Amir bin Syarahil As Sya'bi yang menceritakan : “Telah datang seorang wanita meminta fatwa kepada Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib, dia melaporkan bahwa dia telah dicerai oleh suaminya dan dia mengaku bahwa dia telah berhaidl dalam sebulan sebanyak tiga kali dan telah bersuci dari setiap haidl itu dengan menjalankan shalat pada masa bersuci itu. Maka berkatalah Ali kepada Syuraih (beliu adalah menjabat sebagai qadli / hakim pada Mahkamah Syari'ah di masa Ali bin Thalib -pent) : Katakan pendapatmu tentang masalah wanita ini. Maka berkatalah Syuraih : Apabila dia membawakan saksi dari keluarga terdekatnya yang pengamalan agamanya baik serta terpercaya, yang mereka menyaksikan bahwa wanita ini memang telah berhaidl dalam sebulan tiga kali dan telah bersuci pada setiap selesai berhaidl itu dan mengerjakan shalat pada setiap masa suci dari haidl itu, maka dengan persaksian mereka yang membenarkan pernyataan wanita ini, berarti dia benar dengan pernyataannya. Dan kalau dia tidak dapat mendatangkan saksi yang demikian, berarti dia dusta. Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan tentang jawaban Syuraih ini : Ya, benar kau”.

Syaikh Shaleh bin Fauzan Al Fauzan hafidlahullah menjelaskan pengertian riwayat ini dalam kitab karya beliau berjudul Asy Syarhul Mukhtashar Ala Matni Zadil Mustaqni' jilid 1 halaman 250 sebagai berikut : “Dan keterangannya ialah, bahwa wanita tersebut berhaidl sehari semalam, kemudian bersuci tiga belas hari, kemudian haidl lagi sehari semalam, kemudian bersuci selama tiga belas hari berikutnya, yang berarti dua puluh delapan hari, kemudian haidl lagi yang ketiga pada hari ke dua puluh sembilan selama sehari semalam, sehingga lengkaplah masa iddahnya selama tiga kali haid dan tiga kali suci dalam masa sebulan”.

Syeikh Shaleh bin Fauzan Al Fauzan dengan riwayat ini meyakini bahwa batas minimal masa haidl itu adalah sehari semalam.

  1. Al Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'ied bin Hazem Al Andalusi rahimahullah telah menerangkan dalam Al Muhalla bil Atsar jilid 1 halaman 405 : “Dan masa haidl itu adalah ketika darah haidl itu telah keluar. Maka bila wanita itu telah melihat darah berwarna merah kehitam-hitaman keluar dari kemaluannya, dia harus meninggalkan shalat dan meninggalkan puasa serta haram atas suaminya untuk berhubungan seks dengannya. Maka bila wanita itu melihat darah berwarna merah segar atau berwarna seperti air bekas mencuci daging, atau melihat cairan kuning atau berwarna keruh atau cairan berwarna putih atau bahkan kering samasekali, maka berarti wanita itu telah suci dari haidl dan segera mandi atau bertayammum kalau dia dari orang yang dibolehkan tayammum, kemudian mengerjakan shalat dan puasa Ramadhan dan digauli oleh suaminya. Dan demikian selamanya sehingga dia melihat kembali keluarnya darah berwarna kehitam-hitaman dari kemaluannya, yang demikian dia masuk kembali kepada masa haidl. Namun bila dia melihat darah dengan warna yang lainnya, maka dia berarti telah suci dari haidl itu dan dianggap sah putusan cerai yang dijatuhkan oleh suaminya. Maka bila terus berlangsung keluarnya darah berwarna kehitam-hitaman sampai tujuh belas hari maka yang demikian ini dinamakan masa haidl. Tetapi bila darah yang demikian itu kurang dari sehari atau lebih banyak dari tujuh belas hari maka ia tidak dinamakan haidl”.

Al Imam Ibnu Hazem kemudian menjelaskankan alasannya, mengapa beliau meyakini bahwa batas maksimal masa haidl itu adalah tujubelas hari :

“Dan tidak ada penetapan dari Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tentang batas maksimal masa haidl. Oleh karena itu adalah suatu kemestian untuk kita berpegang dengan berita tentang berapa lama maksimal wanita menjalani masa haidl. Dan kita tidak mendapati berita tentang ini kecuali berita bahwa batas maksimal masa haidl itu adalah tuju belas hari”. Kemudian beliau membawakan riwayat bahwa Abdurrahman bin Mahdi memberitakan bahwa orang yang terpercaya bagi beliau telah memberitahu beliau bahwa masa haidl itu adalah tujubelas hari. Juga diberitakan bahwa para wanita keluarga Majisun menjalani masa haidl maksimal selama tuju belas hari.

  1. Tentang masa nifas bagi wanita yang sehabis melahirkan anak, keumuman wanita menjalani masa nifasnya selama empat puluh hari. Pendapat yang demikian berdasarkan riwayat keterangan Ummu Salamah Ummul Mu'minin radhiyallahu anha yang menyatakan bahwa para wanita di zaman para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam menjalani masa nifasnya selama empat puluh hari, dimana mereka di masa tersebut meninggalkan shalat dan puasa serta dilarang untuk berhubungan seks dengan suaminya. Keterangan Ummu Salamah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya hadits ke 311 dan Tirmidzi dalam Sunannya hadits ke 139, Ibnu Majah dalam Sunannya hadits ke 848, Musnad Imam Ahmad jilid 6 halaman 300, 304, 309, 310, Al Hakim dalam Mustadraknya jilid 1 halaman 175. Al Hakim menshahihkan hadits ini dan penshahihan beliau disepakati oleh Adz Dzahabi. Al Khatthabi dalam Ma'alimus Sunan menyatakan : “Al Bukhari telah memuji hadits ini. Adapun sekelompok ahli fiqih yang melemahkan hadits ini, maka pendapat mereka tertolak dengan kenyataan shahihnya hadits ini. Namun ada juga wanita yang menjalani masa nifasnya lebih dari empat puluh hari atau kurang dari masa tersebut. Maka ukurannya ialah selama keluar dari kemaluan wanita itu darah yang sifatnya sama dengan darah haidl, maka selama keluarnya darah yang demikian itu, wanita dilarang shalat dan puasa serta dilarang pula berjima' dengan suaminya. Demikian diterangkan oleh Ibnu Hazam dalam Muhallanya jilid 1 halaman 413 – 415.

KESIMPULAN DAN PENUTUP :

Demikianlah keterangan para Ulama' yang bila disimpulkan adalah sebagai berikut :

  1. Batas minimal masa haidl itu adalah sehari semalam, dan batas maksimal keluarnya darah haidl itu adalah tuju belas hari. Sehingga bila ada darah yang menyerupai warna darah haidl keluar dari kemaluan wanita dalam masa kurang dari sehari semalam atau lebih dari tujuh belas hari, berarti itu bukan darah haidl. Sehingga tidak dihukumi sebagai keadaan haidl. Oleh karena itu harus bersuci dan kemudian menunaikan shalat dan berpuasa di bulan Ramadhan.
  2. Batas maksimal masa nifas adalah tidak diketahui batasnya, sehingga wanita dalam masa nifasnya meninggalkan shalat dan puasa serta tidak berhubungan seks dengan suaminya, selama melihat keluarnya darah yang sifatnya seperti darah haidl dari kemaluannya.
  3. Wanita yang dalam keadaan haidl dan nifas semestinya tidak mengurangi kegiatan dzikir dan do'anya serta membaca Al Qur'an serta hadir di majlis ilmu yang di luar masjid. Walaupun di masa itu wanita dilarang shalat dan berpuasa dan duduk di masjid.

Wallahu a'lamu bis shawab.


Maraji' :

1. Al-Hawi Al-Kabir , Al-Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, jilid 1 hal. 463 – 465. Darul Fikr Beirut – Libanon, cet. Th. 1414 H / 1994 M.

2. Ahkamul Qur'an , Abu Bakr Muhammad bin Abdillah Ibnul Arabi Al-Maliki, jilid 1 hal. 159. Daru Ihya'il Kutub Al-Arabiah, cet. Th. 1376 H / 1957 M.

3. Al-Muhalla Bil Aatsar , Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'ied bin Hazm Al-Andalusi, jilid 1 hal. 380, masalah ke 254. Darul Fikr Beirut – Libanon, tanpa tahun.

4. Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaibani , Al-Imam Ibnu Qudamah, jilid1 hal. 188. Darul Fikr Beirut – Libanon, cet. Th. 1405 H / 1985 M.

5. Fathul Bari , Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, jilid 1 hal. 399. Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.

Sabtu, 17 Desember 2011

Posted by Nugroho Agung Wibowo On 08.34 0 komentar

Bahaya Materialis


Salah satu nikmat Allah yang terbesar yang harus disyukuri adalah dijadikannya Islam sebagai agama universal. Namun, karena kecongkakan dan kebodohan yang ada pada manusia, mereka tidak mensyukuri nikmat tersebut bahkan mengingkarinya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam akan terasa layak dan indah jika diterapkan secara utuh. Tetapi akan terasa ganjil, pincang, kaku dan kurang relevan jika diambil sebagian dan ditolak sebagian yang lain, ditambah sebagiannya, dikurangi pada bagian yang lain, demikian seterusnya. Allah Ta'ala berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya." (Q.S. Al-Baqarah : 208)

Pada ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan, yaitu mengamalkan seluruh syariat-syariat-Nya, tidak meninggalkan darinya sedikit pun dan tidak menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya (ilah).

Maksud menjadikan hawa nafsu sebagai ilah adalah jika perkara yang disyariatkan sesuai hawa nafsunya dikerjakan, jika tidak ditinggalkan. Justru yang wajib bagi mereka ialah menjadikan hawa nafsunya tunduk terhadap agama dan mengerjakan apa yang disyariatkan sesuai dengan kemampuannya. Adapun terhadap kekurangan yang ada, disebabkan belum atau tidak mampu mengerjakannya, ia harus tetap beriltizam dan berniat untuk mengerjakannya.

Islam juga merupakan agama yang memberikan kebebasan, di mana pada masing-masing jiwa terdapat kehendak dan keinginan, meskipun semua itu tidak terlepas dari kehendak Allah, Dzat Yang Maha Pencipta, Pengatur dan Pemberi Rizqi. Oleh karena itu layaklah kalau setiap makhluk tunduk, taat dan berserah diri hanya kepada-Nya. Inilah kebebasan hidup yang sebenarnya. Dan bukanlah kebebasan itu dengan cara lari dari agama Islam dan berpaling dari perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena tidak ada seorangpun yang lari dari-Nya kecuali ia telah mempersiapkan dirinya untuk diperbudak oleh selain Allah, apakah oleh setan, manusia, dunia, harta, wanita dan sebagainya.

Kalau seseorang sudah diperbudak oleh selain Allah, maka cara apapun akan ditempuhnya demi tercapainya suatu cita-cita, walau pada kenyataannya akan diakhiri dengan kesengsaraan, kecelakaan dan kehancuran (di akhirat). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari (Kitab Al-Jihad, bab Al-Hirasah fil Ghazwi 2/327) dari Abu Hurairah radliyallhu 'anhu bersabda :
"Celaka hamba dinar, dirham, khamisah dan khamilah, jika diberi ridla, jika tidak diberi tidak ridla. Celaka dan merugi, jika tertusuk duri tidak dapat mengeluarkannya." (HR. Bukhari)

Pada hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan betapa rendah, hina dan celaka orang yang menghambakan dirinya kepada emas, perak, baju (dunia). Terhadap musibah yang kecil pun ia tidak mempunyai daya untuk melepaskannya. Sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kabarkan : "Jika tertusuk duri, ia tidak dapat mengeluarkannya."

Makna lain dari hadits ini adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan (terhadap orang yang sepenuhnya menjadikan dirinya hamba dunia) dengan kecelakaan. Ia tidak akan mendapatkan dunia sedikit pun dan tidak akan mampu melepaskan musibah-musibah yang menimpanya. Jika keadaan yang demikian ini menimpa hamba dunia, maka ia dapat terjerumus ke dalam perkara yang besar (syirik). Hal ini karena menghamban dunia menjadi penghalang ketaatan dia pada Allah, sehingga seluruh perkaranya (keridlaan dan kebencian) ia ukur dengan harta (dunia), sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Jika diberi ridla, jika tidak diberi tidak ridla."

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah mengkabarkan sifat yang demikian ini dalam Tanzil-Nya :
"Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) shadaqah, jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya dengan serta merta mereka menjadi marah." (Q.S. At-Taubah : 58)

Demikianlah keadaan seorang yang sangat bergantung pada harta, jabatan, kepemimpinan dan sebagainya. Jika mendapatkan apa yang diinginkan dia ridla, jika tidak dia marah.

Sifat materialis dapat membawa seseorang menjadi pesimis terhadap kehidupan dunia dan akhirat. Bagaimana tidak? Seluruh aktivitas hidupnya tercurah untuk mendapatkan dunia. Sehingga manakala dalam merealisasikan apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya terhalang atau gagal, seolah-olah perkara yang menghalangi itu merupakan musibah yang besar (walaupun hal itu kecil di sisi orang-orang yang beriman). Sebagaimana yang sudah menjadi rahasia umum, apa yang terjadi pada kehidupan orang-orang yang menghabiskan hari-harinya untuk kepentingan duniawi, apakah itu di kalangan pengusaha, pejabat, pegawai dan lain-lain. Bahkan hal yang demikian juga menimpa pada masyarakat kalangan bawah, seperti pembantu rumah tangga, pemulung dan pengangguran.

Sungguh sangat kita sesalkan, bahwa hal yang demikian ini menimpa pada umat Islam atau kaum Muslimin. Padahal sifat ini tidaklah muncul kecuali dari orang-orang yang memalingkan dirinya dari Allah dan Rasul-Nya, tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi dan menjadikan puncak dari pengetahuan mereka. Semua perkara ini telah Allah Ta'ala beritakan dalam firman-Nya dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam paparkan dalam sabdanya. Allah Ta'ala berfirman :
"Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka ...." (Q.S. An-Najm : 30)

Materalisme juga dapat membawa seseorang bersifat egois. Karena segala upaya yang menjadi cita-citanya, ia tidak ingin ada seorang pun yang menyamainya. Keegoisan ini dapat berakibat pada kekikiran, baik dalam segi harta, ilmu, kedudukan dan sebagainya.

Di samping itu sifat materialis juga dapat berakibat fatal. Seluruh perkara yang ingin dicapai harus terwujud, meskipun dengan berbagai cara yang konsekuensinya harus mengorbankan agama atau menghalalkan segala cara. Betapa banyak darah tertumpah, kehormatan tergadai, harga diri ternodai demi tercapainya suatu harapan. Semua ini dapat terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Betapa banyak peperangan yang terjadi antar negara, jatuh dan bangunnya seorang pemimpin, semua itu tidak lain kecuali dilatarbelakangi adanya kepentingan-kepentingan duniawi. Beberapa kejadian yang sering disaksikan oleh mata kepala masyarakat umum, adanya darah yang tertumpah, disebabkan uang logam yang tak ada nilainya. Padahal tidaklah halal darah seorang muslim ditumpahkan, kecuali dengan haknya. Dan bagi siapapun yang telah menghalalkan darah saudaranya tanpa sebab yang syar'i, maka ia telah mencelakakan dirinya. Allah Ta'ala berfirman :
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka padanya dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya." (Q.S. An-Nisa' : 93)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari 12/201 dan Muslim 1676 dari Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu :
"Tidak halal darah seorang Muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara : seorang pezina yang telah menikah, jiwa dengan jiwa (pembunuh), dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) yang memisahkan diri dari jama'ah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kenyataan buruk ini juga terjadi di kalangan para pengusaha atas, menengah dan bawah. Demi tercapainya keuntungan yang maksimal, berbagai cara dan upaya dilakukan. Penipuan, pemalsuan, propaganda yang penuh kedustaan bahkan berani bersumpah dengan nama Allah walaupun terhadap perkara dusta. Memang dengan upaya-upaya di atas, terkadang konsumen merasa yakin dan tertarik apalagi disertai dengan adanya sumpah. Namun semua itu tidak akan berakhir dengan kebaikan dan keuntungan, bahkan sebaliknya. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (1607) dari Abu Qatadah radliyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Hati-hatilah kalian dari banyak bersumpah dalam jual beli, karena sesungguhnya hal itu melariskan (dagangan), namun kemudian menghilangkan (barakah)." (HR. Muslim)

Meskipun cinta dunia merupakan sifat dasar orang-orang kafir, namun hal ini bisa menimpa kaum muslimin sebagaimana banyak terjadi pada zaman yang telah jauh dari zaman kenabian. Oleh karena itu, jika ada seorang hamba melakukan suatu amalan semata-mata karena dunia dan tidak ada baginya keinginan untuk Allah dan hari akhir, maka sebagai balasannya ia tidak mendapat bagian di akhirat.

Sifat cinta dunia tidak akan muncul dari seorang mukmin karena seorang mukmin karena seorang mukmin walaupun keimanannya lemah pasti ada keinginan untuk kehidupan akhirat. Adapun bagi seorang hamba yang beramal karena Allah dan dunia dan keduanya seimbang, maka ia tetap digolongkan seorang mukmin meskipun hal itu mengurangi keimanannya dan keikhlasannya. Lain halnya dengan seorang yang beramal karena Allah saja, tetapi dia mengambil upah dari amalannya dalam rangka untuk menopang ibadahnya seperti mujahid yang mengambil ghanimah. Yang demikian ini tidak mempengaruhi keimanan dan ketauhidannya. Oleh karena itu Allah menjadikan zakat, fa'i dan sebagainya, sebagai sumbangan yang besar dalam menopang kehidupan mereka yang berkecimpung mengurusi umat (agama).

Sebagai orang yang hanya menghambakan dirinya untuk Allah, konsekuensinya adalah beriman kepada hari akhir (pembalasan). Keimanan inilah yang dapat membuahkan sikap untuk tidak terperdaya dengan kehidupan dunia yang penuh dengan hiasan dan senda gurau. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan :
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kalian serta berbangga-bangga dalam banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur dan di Akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Q.S. Al-Hadid : 20)

Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan pada umatnya, tentang fitnah yang akan terjadi pada mereka, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan dari Ka'ab bin 'Iyadh radliyallahu 'anhu :
"Pada setiap umat terdapat fitnah dan fitnah yang terdapat pada umatku adalah harta." (HR. Ahmad 4/160, Tirmidzi 6/629, Ibnu Hibban no. 3223, Al-Hakim 3/318)

Dari keadaan yang demikian, maka bagi hamba Allah yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, hendaknya dapat mengendalikan dirinya dan tidak mudah terbawa arus. Berbagai ujian dan cobaan yang menimpa hendaknya dihadapi dengan kesabaran, karena yang demikian ini membuahkan kecintaan, pujian dan rahmat dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan pada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Q.S. Al-Baqarah : 155)
Demikian apa yang dapat kita sampaikan, mudah-mudahan menjadi peringatan terhadap semua pihak. Dan mudah-mudahan Allah menjauhkan diri dari rasa cinta pada dunia, sehingga menghalangi kita dari mengingat-Nya, takut mati dan lupa dengan akhirat.

Wallahu a'lam bish-shawwab.


Maraji' :
1. Tafsirul Qur'anil Adhim, Ibnu Katsir, cetakan Maktabatun Nurul Ilmiyyah.
2. Fathul Qadir, Imam As-Syaukani, cetakan Maktabatul Ilmiyyah.
3. Zadul Masir, Abul Faraj Al-Jauzi, cetakan Darul Fikr.
4. Al-Jami'li Ahkamil Qur'an, Abu Abdillah Al-Qurthubi, cetakan Maktabah Darul Baz.
5. Jami'ul Bayan, Ibnu Jarir Ath-Thabari, cetakan Darul Fikr.
6. Taisirul Karimir Rahman, Imam As-Sa'di, catakan Muassasatur Risalah.
7. Al-Qaulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid, Ibnu 'Utsaimin, cetakan Darul 'Ashimah.
8. Bahjatun Nadhirin, Asy-Syaikh Salim Al-Hilali, cetakan Dar Ibnul Jauzi.
9. Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, cetakan Darul Fikr.
10. At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur'an, Imam An-Nawawi, tahqiq Abu Abdillah Ahmad bin Ibrahim, cetakan Maktabah Ibnu 'Abbas.

Posted by Nugroho Agung Wibowo On 08.29 0 komentar

Jadilah Orang Kaya yang Bersyukur atau Orang Miskin yang yang Sabar


Masalah ini telah diperdebatkan secara panjang lebar oleh kedua golongan tersebut. Masing-masing berhujjah dengan dalil-dalil yang kuat yang tidak mungkin bisa dibantah dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar-atsar para shahabat dan ulama. Jika orang memperhatikan dalil-dalil yang mereka bawakan, ia akan melihat bahwa kedua-duanya sama kuatnya. Padahal kita telah mengetahui bahwa al-haq tidak mungkin saling bertentangan.

Maka Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya 'Uddatus Shabirin menjelaskan bahwa kedua-duannya haq, karena antara syukur dan sabar ada hubungan yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Syukur tidak akan sempurna kecuali dengan sabar dan sabar tidak akan sempurna kecuali dengan syukur.

Orang kaya yang bersyukur tentunya dia harus sabar dengan ujian kekayaannya dan fitnahnya dunia, demikian pula sebaliknya orang miskin yang sabar tentunya dia harus bersyukur dengan apa yang Allah berikan walau pun sedikit. Sehingga kadang-kadang syukur dan sabar bermakna sama dalam konteks tertentu.

Kita telah mengetahui bahwa syukur mempunyai rukun-rukun yang harus dikerjakan.
1. Mengakui bahwa kenikmatan tersebut itu dari Allah.
2. Memuji Allah sebagai pemberi.
3. Menggunakan kenikmatan tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah.

Sedangkan sabar adalah tetap dalam perintah dan hukum Allah walaupun berbagai kesulitan dan halangan serta musibah menimpanya sebagaimana disebutkan dalam surat At-Thur ayat 48 yaitu :
"dan bersabarlah terhadap hukum Rabb-mu karena sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami ..."

Jika demikian definisi syukur dan sabar, maka syukur adalah dengan cra menggunakan kenikmatan dalam taat kepada Allah sedangkan sabar adalah tetap di dalam ketaatan kepada Allah apa pun cobaan yang menimpanya.

Ibnul Qayyim mengatakan : "Jika telah diketahui demikian, maka sabar dan syukur saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya, tidak mungkin ada salah satunya tanpa yang lain. Hanya saja kadang-kadang diungkapkan dengan salah satunya karena dianggap lebih dominan dalam keadaan tertentu."

Kita bisa contohkan dengan ungkapan di atas "orang kaya yang bersyukur" karena memang yang menonjol pada orang kaya adalah rasa syukurnya, walaupun sesungguhnya dia harus bersabar dengan cobaan dunia dan kekayaan. Sebaliknya diungkapan pula "orang yang miskin yang sabar" karena memang yang menonjol pada orang miskin adalah kesabarannya. Walau pun dia tetap dituntut untuk syukur karena selamatnya dia dari cobaan dunia dan walau pun terlihat sedikit dia telah mendapatkan kenikmatan besar yang harus disyukuri.

Lebih jelasnya kita lihat firman-firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kemiskinan, kesusahan dan kemudahan, kebaikan dan kejelekan semuanya merupakan cobaan dan ujian yang harus dihadapi dengan sabar :
"Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)." (Q.S. Al-Anbiya' : 35)
"Adapun manusia apabila Rabb-nya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata : Rabb-ku telah memuliakanku. Adapun bila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata : Rabb-ku menghinakanku." (Q.S. Al-Fajr : 15-16)
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya." (Q.S. Al-Kahfi : 7)
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." (Q.S. Al-Mulk : 2)
"Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah d antara kamu yang lebih baik amalnya." (Q.S. Hud : 7)

Dalam surat Al-Anbiya' di atas Allah menyatakan bahwa kebaikan dan kejelekan merupakan fitnah. Kemudian dalam surat Al-Fajr Allah menyatakan jika Allah memberikan kebaikan ataupun sebaliknya menahan rezeki, maka kedua-duanya adalah ibtila' atau cobaan juga. Demikian pula pada ayat-ayat berikutnya pada Al-Kahfi, Al-Mulk dan Hud diatas. Semuanya menunjukkan bahwa harta perhiasan dunia, hidup atau mati, penciptaan langit dan bumi, semuanya itu adalah ujian untuk megetahui siapa yang paling baik amalannya. Dengan kata lain, semuanya itu ujian untuk mengetahui siapa yang bersabar.

Oleh karena itu para shahabat ridwanullahi 'alaihim 'ajma'in mengatakan, "Kita diuji dengan kesusahan kita bisa sabar. Tetapi ketika kita diuji dengan kemudahan (kekayaan) kita tidak sabar."

Sebaliknya kemiskinan, penyakit, hilangnya kenikmatan dunia juga dari sisi lain merupakan kenikmatan yang harus disyukuri, yaitu selamatnya dia dari godaan dunia. Oleh karena itu Ibnul Qayyim berkata : "Ar-Rabbu Ta'ala kadang-kadang memberi cobaan dengan kenikmatan dan memberikan kenikmatan dengan bencana."

Inilah yang menyebabkan Umar ibnu Khattab radliyallahu 'anhu berkata : "Kalau syukur dan sabar adalah dua kuda tunggangan, maka aku tidak peduli yang mana yang akan aku naiki."

Kesimpulannya Ibnul Qayyim rahimahullah mendudukkan kedua-duanya seimbang. Dan kedua-duannya saling berkaitan. Tidak sempurna syukur tanpa sabar dan tidak pula sempurna sabar tanpa syukur. Beliau berkata : "Kesimpulannya, yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, apakah dia orang kaya atau pun orang miskin. Jika keduanya sama ketaqwaannya maka sama pula keutamaannya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mengutamakan seseorang dengan kekayaan atau kemiskinan, tidak pula dengan bencana atau pun keselamatan. Tetapi Allah memuliakan seseorang dengan ketaqwaan. "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu." (Q.S. Al-Hujurat : 13)

Sedangkan ketaqwaan dibangun di atas dua landasan : sabar dan syukur. Apakah dia orang kaya atau pun orang miskin, harus menyempurnakan kedua-duanya. Barangsiapa sabar dan syukurnya lebih sempurna, maka dia lebih utama.

(Disarikan dari kitab 'Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin cetakan Daar Ibnu Katsir, tahun 1993 M / 1414 H, karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah)

Jumat, 16 Desember 2011

Posted by Nugroho Agung Wibowo On 10.37 0 komentar

Kepribadian Guru


Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).

Apa yang dimaksud dengan kepribadian? Dalam uraian ini kita tidak akan membicarakan arti atau batasan kepribadian secara teori, akan tetapi akan mencoba memahami berbagai unsur kepribadian yang dapat dilihat atau difahami dengan mudah. Orang awam dengan mudah mengatakan bahwa seorang itu punya kepribadian yang baik, kuat dan menyenangkan. Sedangkan ada pula orang lain dikatakan mempunyai kepribadian lemah tidak baik atau buruk dan sebagainya.

Kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak (maknawi), sukar dilihatatau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.

Barangkali dalam hal ini, lebih baik kita memandang kepribadian tersebut dari segi terpadu (integrated) atau tidaknya. Kepribadian terpadu, dapat menghadapi segala persoalan dengan wajar dan sehat, karena segala unsur dalam kepribadiannya bekerja seimbang dan serasi. Pikirannya mampu bekerja dengan tenang, setiap masalah dapat dipahaminya secara obyektif, sebagaimana adanya. Maka sebagai guru ia dapat memahami kelakuan anak didik sesuai dengan perkembangan jiwa yang sedang dilaluinya. Pertanyaan anak didik dapat dipahami secara obyektif, artinya tidak ada kaitannya dengan persangkaan atau emosi yang tidak menyenangkan. Tidak jarang guru yang merasa rendah diri, menanggapi pertanyaan anak didik sebagai kritikan atau ancaman terhadap harga dirinya, maka jawabannya bercampur emosi, misalnya dengan marah atau ancaman.

Perasaan dan emosi guru yang mempunyai kepribadian terpadu tampak stabil, optimis dan menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa diterima dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.

Guru yang goncang atau tidak stabil emosinya, misalnya mudah cemas, penakut, pemarah, penyedih dan pemurung. Anak didik akan terombang-ambing dibawa oleh arus emosi guru yang goncang tersebut karena anak didik yang masih dalam pertumbuhan jiwa itu juga dalam keadaan tidak stabil, karena masih dalam pertumbuhan dan perubahan. Biasanya guru yang tidak stabil emosinya tersebut, tidak menyenangkan bagi anak didik, karena mereka seringkali merasa tidak dimengerti oleh guru. Kegoncangan perasaan anak didik itu akan menyebabkan kurangnya kemampuannya untuk menerima dan memahami pelajaran, sebab konsentrasi pikirannya diganggu oleh perasaannya yang goncang karena melihat atau menghadapi guru yang goncang tadi.

Guru yang pemarah atau keras, akan menyebabkan anak didik takut. Ketakutan itu dapat bertumbuh atau berkembang menjadi benci. Karena takut itu menimbulkan derita atau ketegangan dalam hati anak, jika ia sering menderita oleh seorang guru, maka guru tersebut akan dijatuhinya agar dapat menghindari derita yang mungkin terjadi. Akan tetapi sebagai anak didik yang harus patuh dan tunduk kepada peraturan sekolah pendidikan, ia terpaksa tetap berada dalam kelas, ketika guru tersebut ada, maka lambat laun guru itu akan berhubungan secara negatif dalam hati anak didik itu, artinya ia akan membencinya. Apabila anak didik benci kepada guru, maka ia tidak akan berhasil mendapat bimbingan dan pendidikan dari guru tersebut, selanjutnya ia akan menjadi bodoh walaupun kecerdasannya tinggi.

Demikianlah pula dengan berbagai emosi lainnya yang tidak stabil, akan membawa kepada kegoncangan emosi pula pada anak didik bahkan mungkin akan membawa kepada kegoncangan kejiwaan. Tingkah laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah laku atau akhlak guru tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena adak mudah terpengaruhi oleh orang yang dikaguminya. Atau dapat juga menyebabkan anak didik gelisah, cemas atau terganggu jiwa karena ia menemukan contoh yang berbeda atau berlawanan dengan contoh yang selama ini didapatnya di rumah dari orang tuannya.

Sikap guru dalam menghadapi segala persoalan, baik menghadapi anak didik, teman-temannya sesama guru dan terhadap pendidikan itu sendiri akan dilihat, diamati dan dinilai pula oleh anak didik. Sikap pilih kasih dalam memperlakukan anak didik, adalah yang paling cepat dirasakan oleh anak didik, karena semua anak mengharapkan perhatian dan kasih sayang gurunya. Kelakuan anak didik tidak boleh dijadikan alasan untuk membedakan perhatian, karena anak yang nakal misalnya, seringkali dimarahi dan dibenci oleh guru, karena ia sering mengganggu suasana belajar. Akan tetapi guru yang bijaksana tidak akan dibenci kepada anak yang nakal, dia akan lebih memperhatikannya dan berusaha mengetahui latar belakang anak tersebut.

Selanjutnya berusaha memperbaikinya secara individual mungkin dengan mengajaknya bicara di luar jam belajar bahkan menghubungi orang tuanya dan sebagainya. Boleh jadi kenakalan itu terjadi karena si anak merasa tidak disayangi oleh orang tuannya, atau karena suasana keluarganya goncang dan menegangkan, sehingga ia bingung dan tertekan perasaan maka gurulah orang terdekat tempat memantulkan perasaannya yang goncang itu.

Sikap guru terhadap agama juga merupakan salah satu penampilan kepribadian. Guru yang acuh tak acuh kepada agama akan menunjukkan sikap yang dapat menyebabkan anak didik terbawa pula kepada arus tersebut, bahkan kadang-kaadang menyebabkan terganggunya jiwa anak didik. Sebuah contoh yang pernah terjadi di sebuah Sekolah SMP di suatu kota sebagai berikut : Seorang anak didik kelas dua dibawa ke klinik jiwa, karena mengalami gangguan kejiwaan, cemas takut dan tidak dapat belajar. Setelah oleh dokter jiwa diteliti dan dikumpulkan informasi tentang berbagai peristiwa dan pengalaman yang terjadi pada anak tersebut, ternyata bahwa penyakit tersebut dideritanya sejak guru olah raga memarahinya di depan kelas dengan meremehkan ketentuan agama yaitu ketika guru tersebut akan membawa anak didiknya pergi berenang. Anak tadi bertanya : Bagaimana mungkin anak perempuan bersama anak laki-laki, dalam pakaian renang? Guru olah raga yang tidak bijaksana tersebut menjawab sambil mengejek : Apakah kamu akan berenang pakai jilbab. Anak-anak tertawa, akan tetapi anak yang bertanya tadi diam dan merasa sangat malu serta bingung, apa yang harus diperbuatnya. Selama ini ia tahu bahwa wanita itu harus menutupi tubuhnya karena ada ketentuan agama yang harus dipatuhi. Akan tetapi gurunya mengejeknya ketika ia bertanya untuk mendapatkan penjelasan, agar ia dapat ke luar dari kesukarannya itu. Ia tidak dapat meyelesaikan persoalan itu, akhirnya ia jatuh kepada gangguan kejiwaan. Bagi anak-anak lain yang tidak mengalami gangguan kejiwaan namun jawaban guru tersebut juga merupakan semacam bahaya, yaitu timbulnya kecondongan untuk meremehkan ketentuan agama.

Cara guru berpakaian, berbicara, berjalan dan bergaul juga merupakan penampilan kepribadian lain, yang juga mempunyai pengaruh terhadap anak didik. Termasuk pula dalam masalah kepribadian guru itu, sikap dan pandangan guru terhadap fungsinya bagi anak didiknya. Apakah ia sebagai pemimpin, yang menyuruh, memerintah dan mengendalikan? Sedangkan anak didik adalah yang dipimpin harus patuh menurut dan menerima. Ataukah ia sebagai pembimbing yang mengerti dan menyiapkan suasana bagi anak didik, ia hidup dan ikut aktif dalam kegiatannya.

Macam yang pertama, yang menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang memerintah dan menyuruh akan bersikap besar, sungguh-sungguh dan menampakkan diri dalam bentuk yang ideal. Hubungan antara guru dan anak didik dalam hal ini, adalah seperti hubungan atasan dan bawahan. Jika anak didik patuh, maka kepatuhan itu tidak akan berlangsung lama, dan tidak menguntungkan dalam pendidikan, karena anak didik dalam mematuhi itu mengalami ketegangan atau merasa terpaksa. Anak didik tidak akan merasa aman terhadap guru yang seperti itu, mungkin mereka akan menjauh atau menjadi putus asa, karena tidak mampu mengikuti guru tersebut.

Lain halnya dengan guru macam kedua, yang merasa bahwa dirinya adalah pembimbing bagi anak didiknya, ia menyiapkan suasana yang membantu mereka, ia ikut aktif dalam kegiatan mereka, ia menampakkan diri sebagaimana adanya, tidak berpura-pura hebat atau seram, hubungannya dengan anak didik sederhana dan wajar, atau dapat dikatakan seperti hubungan kakak dan adik. Biasanya guru yang seperti itu menarik dan menyenangkan bagi anak didik, ia akan dihormati, disayangi dan dipatuhi dengan gembira oleh anak didik. Pribadinya akan di contoh dan pelajarannya akan diperhatikan serta diminati oleh anak didik.

Mengingat tugas guru adalah mendidik dan bukan hanya mengajar suatu bidang tertentu, maka seorang calon guru harus dibekali dengan ketaqwaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, kepribadian yang luhur serta kuat, dan pengetahuan teori dan praktek kependidikan dan keguruan yang menjadi spesialisasinya. Khusus untuk guru agama, disamping kualitas di atas, perlu pula disyaratkan bahwa dia harus meyakini dan mengamalkan agama yang diajarkannya.

Wallahu a'lam bish-shawwab.


Sumber : Buku "Kepribadian Guru" halaman 16-21, oleh Dr. Zakiah Daradjat, cetakan 1980, penerbit Bulan Bintang - Jakarta.

Posted by Nugroho Agung Wibowo On 06.54 1 komentar

Doa Istikharah


Masalah yang akan terjadi nanti atau besok merupakan hal yang ghaib bagi kita. Suatu perkara, apakah ia baik atau buruk, hanyalah Allah yang mengetahui. Terkadang ia datang dengan tiba-tiba atau bersamaan dengan yang lain dan mempunyai bobot yang sama. Pada saat itulah seseorang dituntut untuk memilih. Namun karena keterbatasan akal dan kemampuan manusia dalam memprediksi terhadap apa yang bakal terjadi, maka ia membutuhkan pertolongan dalam menentukan pilihan agar menghasilkan pilihan yang tepat dan tidak menyesal di kemudian hari.

Allah-lah tempat memohon pertolongan. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan kita semua agar memohon pertolongan kepada Allah saja dalam segala permasalahan termasuk memilih suatu urusan. Untuk itu beliau mensunahkan kita shalat dan doa istikharah (doa memilih dan memohon taufiq dari dua masalah).

Imam Nawawi berpendapat bahwa apabila seorang mempunyai udzur, maka diperbolehkan dia untuk berdoa apa saja. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Jika salah seorang di antara kalian menginginkan sesuatu, maka hendaklah dia shalat dua rakaat yang bukan shalat fardlu, lalu mengucapkan : "Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu dan aku memohon kekuasaan-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaan-Mu. Aku memohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu Yang Maha Agung. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan itu baik bagiku dalam agamaku dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ... di dunia atau di akhirat). Takdirkanlah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah kepadaku di dalamnya. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dunia dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkanlah perkara tersebut dan jauhkanlah aku darinya. Takdirkanlah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada kemudian jadikanlah aku ridla terhadapnya. Orang yang mempunyai hajat hendaklah menyebutkan persoalannya." (HR. Bukhari 7/261)

Orang yang melakukan istikharah, hendaklah bermusyawarah dengan orang-orang mukmin dan berhati-hati dalam menangani persoalannya agar tidak menyesal di kemudian hari. Allah Maha Suci berfirman :
"... dan bermusyawarahlah bersama mereka (para shahabat) dalam urusan itu (peperangan, perekonomian, politik dan lain-lain). Dan jika kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah ..." (Q.S. Ali Imran : 159)

Waktu Doa Istikharah

Imam Nawawi berpendapat bahwa seorang boleh melakukan doa istikharah setelah shalat-shalat sunnah rawatib maupun sunnah tahiyatul masjid. Disunnahkan sebelum berdoa memulai dengan membaca hamdalah dan shalawat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat Al-Adzkar oleh Imam Nawawi). Akan tetapi pendapat Imam Nawawi di atas masih perlu diteliti lage karena secara dhahir (teks hadits) penyebab dilaksanakan shalat itu ialah untuk memohon pilihan, sehingga perlu shalat dua rakaat khusus, tidak cukup dengan shalat sunnah rawatib, tahiyatul masjid atau shalat dua rakaat setelah wudlu dan doa dilakukan setelah selesai shalat (lihat Bahjatun Nadhirin karya Syaikh Salim Al-Hilali).

Peringatan Penting

Ada beberapa hal yang perlu diperingatkan mengenai doa yang selama ini dipahami oleh masyarakat yaitu adanya anggapan bahwa setelah shalat, ia akan bermimpi tentang sesuatu yang harus ia lakukan. Karena anggapan seperti itu, kita lihat banyak orang melakukannya dengan berwudlu, shalat kemudian tidur dengan harapan bermimpi dalam tidurnya. Bahkan ada yang sambil berpakaian putih.

Sebagian ulama berpendapat -ini masih perlu diteliti kembali- bahwa doa istikharah cukup dengan shalat wajib atau rawatib. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi doa itu setelah shalat dua rakaat khusus, bukan setelah shalat wajib.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan apa yang harus dilakukan setelah selesai shalat istikharah. Ada yang berpendapat melakukan apa yang ia anggap cocok. Sedang yang lain berpendapat mengerjakan apa yang ia merasa lega. Apabila seorang merasa mudah dan gampang serta cocok, hendaklah ia kerjakan pilihannya. Jika ternyata merasa sebaliknya setelah istikharah, hendaklah ia menahan diri untuk mengerjakannya (lihat Bahjatun Nadhirin karya Syaikh Salim Al-Hilali). Pendapat yang terakhir inilah yang beliau kuatkan.

Beberapa Kesalahan Dalam Istikharah

Kita hendaknya tidak mengikuti bid'ah yang sudah biasa dilakukan orang dalam doa istikharah, akan tetapi selalu mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan mengikuti sunnahnya dalam istikharah, insya Allah, problem kita akan selesai dengan mudah dan kita pun akan beruntung di dunia dan akhirat. Marilah kita kerjakan apa yang kita rasa lega setelah berdoa dan menjauhi ketergantungan kepada perasaan dan hawa nafsu yang timbul sebelum berdoa. Buanglah jauh-jauh perasaan itu! sebab jika tidak, berarti kita beristikharah kepada hawa nafsu, bukan kepada Allah Ta'ala. Wal iyadzubillah.

Tetapi sebaliknya kita harus jujur dalam memilih. Kita harus menyerahkan kekuasaan, pengetahuan dan hasil doa kita, serta daya dan upaya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala saja.

Di antara bid'ah-bid'ah shalat istikharah yang harus kita jauhi antara lain :

1. Doa istikharah harus dilakukan orang lain.
2. Harus ada mimpi tentang apa yang diniatkan atau melihat warna hijau atau putih bila apa yang dituju baik, dan melihat warna merah atau hitam bila yang dituju buruk.
3. Menghitung sejumlah kerikil yang diambil secara acak kemudian menghitungnya. Apabila berjumlah ganjil diurungkan niatnya dan bila berjumlah genap diteruskan niatnya.
4. Meminta dukun membaca garis-garis tangan agar menentukan hasil doa dengan kekuatan firasatnya.
Dan masih banyak lagi kemungkaran lain yang harus kita hindari dalam doa istikharah (lihat Al-Qaulul Mubin karya Syaikh Mansyhur Hasan Salman).

Demikian pula seorang harus menyerahkan segala keputusan/ketentuan kepada-Nya saja dengan keyakinan bahwa semua yang telah terjadi maupun akan terjadi karena takdir Allah semata. Sehingga apabila menemukan ketentuan baik, ia bersyukur dan apabila menemukan ketentuan jelek ia tidak putus asa. Inilah sikap orang beriman dalam menghadapi semua problematika kehidupan.

Demikianlah sekilas tentang doa istikharah menurut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat. Amiin.

Wallahu 'ala wa a'lamu wa 'azzu wa ahkam.

Maraji' :
1. Al-Qur'anul Karim.
2. Al-Adzkar, Al-Imam An-Nawawi, tahqiq Al-Arnauth, cet. Darul Hidayah.
3. Bahjatun Nadhirin, Syarhu Riyadlis Shalihin, Syaikh Salim Al-Hilali, cet. Dar Ibnul Jauziah.
4. Hishnul Muslim, Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani.
5. Al-Qaulul Mubin fi Akhthail Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. Dar Ibnul Qayyim.

Kamis, 15 Desember 2011

Posted by Nugroho Agung Wibowo On 13.11 1 komentar

Terkabulnya Doa Saat Sujud


Banyak kita jumpai dari kalangan kaum muslimin, hanya karena ingin terkabul doanya, mencari dan mendatangi tempat-tempat keramat yang terkadang untuk menuju tempat tersebut dibutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Padahal syariat telah mengajarkan tempat berdoa yang sah dan jauh lebih mudah ditempuh. Dalam hal ini kita perlu mencermati makna hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi :
"Hubungan terdekat antara seorang hamba dengan Pencipta-Nya ialah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa pada (saat itu)." (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)

Pada riwayat lain dari Ibnu Abbas radliyallhu 'anhu, katanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Adapun saat sujud, hendaklah kamu berdoa dengan sungguh-sungguh sebab ada jaminan untuk dikabulkan." (HR. Muslim)

Maksud sujud dalam hadist di atas adalah sujud ketika berlangsungnya shalat, baik shalat wajib ataupun sunnah. (lihat Syarah Shahih Muslim, Nawawi, 2/206)

Sebaik-baik doa adalah doa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tuntunkan pada kita. Beliau saat sujud membaca :
"Subhaana robbiyal a'laa. (Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi)." (HR. Muslim)

"Subhaanakallahumma wa bihamdika. Allahummaghfirlii. (Maha Suci Engkau Ya Allah Rabb kami dan segala puji bagi-Mu. Maka ampunilah aku)." (HR. Bukhari 1/99 dan Muslim 1/350)

"Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati warruuhi. (Maha Suci dan Maha Bersih Rabb Malaikat-Malaikat dan Rabb Jibril)." (HR. Muslim 353 dan Abu Dawud 1/230)

"Subhaanakallahumma wa bihamdika laa ilaha illa anta. (Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan memuji bahwa tiada tuhan yang pantas disembah selain Engkau)." (HR. Muslim, 485)

"Allahumma innii a'udzubiridlaaka min sakhathika, wa bimu'aafaatika min 'uquubatika, wa a'uudzubika minka, laa uhshii tsanaa'an 'alaika anta kama atsnaita 'ala nafsika. (Ya Allah, sungguh aku berlindung dengan keridlaan-Mu dan kemarahan-Mu, dengan pemaafan-Mu dari siksa-Mu dan aku berlindung dengan-Mu dari marah-Mu. Aku tidak bisa menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri)." (HR. Muslim no. 485 dan Nasa'i 2/222)

"Allahummalaka sajadtu wabika aamantu walaka aslamtu sajada wajhiya lilladzii khalaqahu wa shawwarahu wa syaqqa sam'ahu wa basharahu tabaarakallahu ahsanu. (Ya Allah, aku sujud demi Engkau. Aku beriman dengan-Mu. Aku serahkan diriku pada-Mu. Wajahku sujud demi yang menciptakan dan membentuknya serta yang menumbuhkan pendengaran dan penglihatannya. Maka berkah Allah sebaik-baik zat pencipta)." (HR. Muslim)

"Allahummaghfirlii dzanbii kullahu diqqahu wa jullahu wa awwalahu wa aakhirahu wa 'alaaniyatahu wa sirrahu. (Ya Allah, ampunilah semua dosaku, dosa yang kecil dan yang besar, yang pertama maupun yang terakhir dan yang nampak maupun yang samar)." (HR. Muslim no. 483)

"Allahummaghfirlii khathiiatii wa jahlii wa israafii fii amrii, wa maa anta a'lamubihi minnii. Allahummaghfirlii jiddii wa hazalii wa khathaii wa 'amadii, wa kullu dzalika 'indii. Allahummaghfirlii maa qaddamtu wa maa akhkhirtu wa maa asrartu wa maa a'lantu, anta ilahii laa ilaha illa anta. (Ya Allah, ampunilah semua kesalahanku, kebodohanku dan kelancanganku serta dosa-dosa yang Engkau lebih mengetahui dariku. Ya Allah, ampunilah kesengajaanku yang semua itu dariku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa yang telah lewat maupun yang akan datang, yang aku sembunyikan dan yang aku nampakkan Engkau sesembahanku. Tiada tuhan yang pantas disembah kecuali Engkau)." (HR. Bukhari 11/166 dan 167 serta Muslim 2719)

"Allahummaj'al fii qalbii nuuran wa fii sam'ii nuuran, wa fii basharii nuuran, waj'al 'anyamiinii nuuran, wa 'an syimaalii nuuran, waj'al fii amaamii nuuran, wa min khalqii nuuran waj'al min fauqii nuuran wa min tahtii nuuran. Allahumma a'thinii nuuran. (Ya Allah, berikanlah cahaya dalam hatiku, pendengaranku, penglihatanku. Berikanlah samping kanan, samping kiri, depan, belakang, atas dan bawah cahaya bagiku, dan berikanlah aku cahaya)." (HR. Muslim no. 479)

"Subhaanadzil jabaruubi wal malakuuti wal kibriyaai wal 'adzamati. (Maha Suci Zat yang memiliki kekuasaan dan kerajaan, kesombongan dan keagungan)." (HR. Abu Dawud 1/230, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, 1/166)

Hendaklah seseorang bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah ketika ia sujud. Akan tetapi menurut keterangan Ibnu Qayyim Al-Jauziah dalam karya besarnya Zadul Ma'ad, apakah perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bersungguh-sungguh dalam sujud dapat diartikan memperbanyak doa dalam sujud atau jika seseorang mau berdoa hendaklah berdoa ketika ia sujud.

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, dua hal ini mempunyai perbedaan. Sebab ada dua pengertian doa.
Pertama, doa yang bersifat pujian dan doa yang bersifat permintaan (masalah). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sujudnya memperbanyak doa tersebut baik yang bersifat pujian ataupun permintaan. Dan doa-doa tersebut di atas mencakup dua jenis doa. Dikabulkannya doa juga ada dua jenis yaitu dikabulkannya doa orang yang meminta dengan suatu pemberian dan dikabulkannya doa orang yang memuji dengan diberi pahala. Agaknya inilah tafsir ayat berikut (yang artinya) :
"Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika ia berdoa pada-Ku." (Q.S. Al-Baqarah : 187),
yakni Allah mengabulkan dua jenis doa tersebut di atas; demikian menurut pendapat yang benar. (lihat Zadul Ma'ad, 1/235)

Jadi itulah doa-doa yang biasa diucapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika sujud dalam shalat. Namun kebanyakan kaum muslimin salah memahami hadits yang memerintahkan banyak sujud dan doa. Maka kita banyak melihat di antara mereka sujud lalu berdoa setelah melakukan shalat dan wirid-wirid. Ini adalah suatu kesalahan yang perlu diluruskan. Di saat mereka bersungguh-sungguh dalam mengamalkan sunnah ternyata salah tata cara pengamalannya. La hau la wala quwwata illa billah.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Rabu, 14 Desember 2011

Posted by Nugroho Agung Wibowo On 08.39 0 komentar

Do'a Gundah Gulana


Kesedihan, kegundahan dan kecemasan adalah perasaan-perasaan yang biasa singgah di dalam hati. perasaan-perasaan itu muncul tanpa dikehendaki. Karenanya pula berlalulah perasaan senang dan gembira.

Begitulah hati manusia. Kadang baik kadang buruk. Semuanya bisa memberikan dampak positif atau negatif bagi tubuh manusia. Jika hatinya baik, niscaya akan baik pula perilaku tubuhnya dan jika buruk maka akan buruk pula perangainya. Demikian pula jika hatinya gembira, akan riang pula sikap dan gerakannya. Sebaliknya, jika hatinya gundah gulana, maka akan lesu dan tidak bersemangat tingkah lakunya.

Semua perihal ini telah dijelaskan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik niscaya baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka akan rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah ia adalah hati." (Muttafaqun 'alaihi)

Mengomentari hadits ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul Bari 1/137 mengatakan : "Yang demikian dikarenakan hati adalah pemimpin seluruh tubuh."

Kegundahan dan kegelisahan begitu sering merasuki hati, dan tidak semua orang mampu menghindarinya. Hanya segelintir orang saja yang sanggup mengatasinya. Terlebih lagi di jaman sekarang ini, di mana nyawa seakan begitu murah dan keamanan terasa mahal harganya. Hari-hari dilalui manusia dengan segudang problem yang menumbuhkan kegundahan di hatinya dan berakibat tidak baik terhadap aktifitasnya.

Begitu mudahnya kegundahan menimpa manusia sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya agarhanya mengadu kepada Allah dalam menyelesaikan urusannya. Begitu pula bila meminta ketenangan untuk jiwanya. Karena hati manusia adalah milik Allah dan berada di antara dua jari jemari Allah, dibolak-balikkan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Sesungguhnya hati-hati anak Adam ada di antara dua jari jemari Allah seperti layaknya satu hati yang Allah memalingkannya sesuai dengan kehendak-Nya." Kemudian beliau berkata : "Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami pada ketaatan kepada-Mu." (HR. Muslim)

Hanya kepada Allah-lah kita memohon dan meminta penyelesaian dari kegundahan hati, karena Dia-lah yang memiliki hati manusia. Rasulullah telah mengajarkan kepada umatnya doa-doa untuk mengatasi kegundahan hati, agar mereka mengadukan segala keluhan hanya kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya dan hanya mengatasinya dengan tuntunan Rasul-Nya, bukan malah bermaksiat kepada-Nya.

Sebagaimana kita saksikan di masyarakat sekarang ini, kebanyakan mereka mengobati kegundahan hatinya dengan mendatangi tempat-tempat maksiat, dan mengatasi permasalahannya dengan melakukan larangan-larangan-Nya. Semua ini mereka lakukan dengan alasan mencari hiburan dan ketenangan.

Sungguh merugi orang-orang yang berbuat demikian, dan beruntunglah orang-orang yang kembali kepada Allah dengan tuntunan Rasulullah.

Ada beberapa doa yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya ketika mereka gundah gulana, di antaranya :
"Allahumma innii 'abduka wabnu 'abdika wabnu amatika, naashiyatii biyadika maadhin fii khukmuka, 'adlun fii qodhoouka asaluka bikulli ismii huwalaka sammaitabihi nafsaka, au anzaltahu fii kitaabika au 'allamtahu akhadan min kholqika au ista'tsartabihi fii 'ilmil ghoibi 'indaka an taj'alal qur'ana robi'a qolbii, wa nuuro shodrii, wajala'a khuznii wa dzahaaba hammii." "Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, ubun-ubunmu berada di tangan-Mu, berlaku padaku hukum-Mu, adil bagiku ketentuan-Mu, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu yang telah kau namai diri-Mu dengannya atau yang Kau turunkan di dalam kitab-Mu, atau yang Kau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau Kau simpan di alam ghaib di sisi-Mu. Jadikanlah Qur'an sebagai penyejuk hatiku, penerang jiwaku, pengobat sedihku dan penghapus kegundahanku." (HR. Ahmad dan lainnya dengan sanad shahih, lihat Shahih Kitabul Adzkar wa Dlaifuhu 1/338)

Begitu agungnya doa ini sehingga apabila seorang hamba yang ditimpa kegundahan membacanya niscaya Allah akan menghilangkan kegundahannya dan menggantikannya dengan kegembiraan, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di dalam riwayat yang lain dijelaskan, apabila Rasulullah mendapati suatu perkara yang menyusahkan hati, Beliau segera berdoa :
"Yaa hayyun yaa qoyyuum birohmatika astaghyitsu."
"Ya Hayyun, ya Qayyum, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan." (HR. At-Tirmidzi, lihat Shahih At-Tirmidzi no. 2796)

Demikian pula dengan doa berikut ini, yang juga Rasulullah sering membacanya :
"Allahumma innii a'udzubika minal 'ajzi wal kasali wal bukhli wal jubni wa dlola'id dayni wa gholabatir rijaali."
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan, keresahan, kelemahan, kemalasan, kekikiran, ketakutan, terbebani hutang dan dikalahkan manusia." (HR. Bukhori)

Berdoa dengan doa-doa ini adalah caraterbaik untuk menghilangkan kegundahan. Dengan membacanya berarti seorang hamba telah mengadukan kesulitannya kepada Allah yang memiliki dan menguasai hatinya serta membolak-balikkannya atau memalingkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan membacanya pula, seorang hamba akan mendapatkan ketenangan jiwa dan ketentraman yang dapat mendorong dirinya untuk hidup lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Allah Ta'ala berfirman :
"Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram." (Q.S. Ar-Ra'du : 28)

Mudah-mudahan kita termasuk dari orang-orang yang mendapatkan pengampunan dosa dari Allah Subhanahu wa Ta'ala atas segala musibah yang menimpa kita hingga kegundahan yang melanda jiwa, seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam haditsnya :
"Tidak ada yang menimpa seorang mukmin dari rasa sakit dan kesulitan, tidak pula keperihan dan kesulitan hingga kegundahan yang menyusahkan kecuali akan diampunkan kesalahan-kesalahannya dengan hal itu semua." (HR. Muslim)

Mudah-mudahan.

Maraji' :
1. Al-Wabilus Shayyib Minal KalimutThayyib, Ibnul Qayyim.
2. Shahih Kitabul Adzkar wa Dla'ifuhu, Syaikh Salim Al-Hilali.
3. Qawaid wa Fawaid, Nadhim Muhammad Sulthan.
4. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Minggu, 06 Februari 2011

Posted by Nugroho Agung Wibowo On 05.58 0 komentar

Terampil Berkomunikasi


Orang bijak berkata, "Dengan berbicara maka orang lain akan tahu siapa Anda." Untuk itu pandai-pandailah dalam berbicara. Kepandaian atau seni berbicara merupakan kebutuhan setiap manusia. Orang yang pandai berbicara atau tahu seninya berbicara akan merasakan lidah lebih cepat menyuarakan bisikan hati.

Orang yang pandai atau tahu seninya berbicara bukan berarti orang yang banyak berbicara, melainkan orang yang tahu kapan ia harus berbicara dan kapan tidak harus bicara sesuai kondisi dan kepentingannya.

Cara atau gaya Anda dalam berbicara dapat mempengaruhi penilaian orang lain terhadap diri Anda. Contoh kasus, orang lain akan merasa bosan jika Anda terlalu bertele-tele dan tidak fokus dalam pembicaraan. Karenanya dalam suatu pembicaraan, sesuatu yang disampaikan secara singkat dan tepat akan mendapatkan kehormatan. Pembicaraan yang baik adalah pembicaraan yang singkat dan mengena. Karena hal-hal yang baik jika disampaikan secara singkat akan semakin baik, dan hal-hal yang buruk jika disampaikan secara singkat akan menjadi tidak begitu buruk.

Hal penting lain yang perlu diperhatikan dalam berbicara adalah bahan pembicaraan. Sesuatu yang baru dan segar adalah sumber pembicaraan yang menarik. Namun, jangan atau hindarkan untuk membicarakan perihal diri sendiri. Karena hal ini bisa menimbulkan kesombongan diri dan tentu menjadi gangguan bagi orang lain yang mendengarkan.

Merupakan kemenangan besar apabila dalam berbicara dapat menarik hati dan menumbuhkan kepercayaan diri orang lain. Jangan sebaliknya, berbicara tentang hal-hal yang berisi keluhan atau keputusasaan yang dapat berakibat menurunkan harga diri.

Dalam berbicara kearifan lebih diutamakan daripada kecepatan atau banyak berbicara. Anda perlu beradaptasi diri dengan berbagai macam watak atau karakter dan kecerdasan pihak lain.

Berbicaralah seakan-akan Anda menulis surat wasiat. Semakin sedikit kata-kata, semakin kecil perkara hukumnya. Karena banyak waktu untuk mengeluarkan kata-kata, tetapi tidak pernah ada waktu untuk menariknya kembali. Lidah lebih tajam dari pisau, maka pergunakan kesempatan Anda dalam berbicara secara efisien, fokus dan pada tempatnya yang tepat.


Sumber : Buku 7 Langkah Menuju Sukses halaman 54-57.