Fatwa para Ulama’ dalam pandangan Syari’ah Islamiyah bukanlah dalil agama untuk menetapkan halal dan haram, sunnah dan bid’ah atau ketetapan-ketetapan agama yang lainnya. Juga fatwa itu bukan dalil agama untuk menetapkan seseorang itu sesat atau tidak sesat, orang itu baik atau jahat. Semua fatwa para Ulama’ itu ada kemungkinan salah dan ada pula kemungkinan benar. Bahkan termasuk fatwa para Shahabat Nabi radhiyallahu `anhum, juga bukan dalil dan ada kemungkinan benar atau salah. Dalam hal ini kita dapat membuktikan riwayat-riwayat fatwa dan penilaian para Shahabat Nabi yang keliru dan salah.
Abu Sanabil radhiyallahu `anhu sempat berfatwa, bahwa wanita yang melahirkan anak beberapa hari sepeninggal suaminya harus menjalani `iddah sebagaimana wanita lainnya yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Maka hal ini diadukan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wasallam, dan beliau menyalahkan fatwa Abu Sanabil itu dengan menegaskan bahwa `iddah wanita yang hamil itu akan berakhir saat melahirkan anaknya.
Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith radhiyallahu `anhu diutus oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam untuk menarik zakat dari kampung Bani Al-Musthaliq. Namun Al-Walid melihat dari kejauhan adanya orang-orang yang bergerombol di depan kampung ketika beliau mendekati kampung itu. Sehingga Al-Walid menilai bahwa penduduk kampung Bani Al-Musthaliq akan menyerang petugas zakat yang diutus oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wasallam dan kembalilah beliau serta melaporkannya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wasallam. Kesimpulan dan penilaian Al-Walid terhadap penduduk kampung Bani Al-Musthaliq ini dibantah oleh Allah Ta`ala dengan menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya surat Al-Hujurat 6.
Ketika terjadinya fitnah tuduhan keji terhadap Ummul Mu’minin A’isyah radhiyallahu `anha, yang menyatakan bahwa beliau dituduh telah berzina dengan seorang Shahabat Nabi yang bernama Shafwan Bin Al-Mu’atthal dalam perjalanan pulang mendampingi Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wasallam berjihad. Fitnah ini disebarkan oleh orang-orang munafiq dalam rangka menyakiti Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wasallam dan keluarganya. Dalam peristiwa ini seorang Shahabat Nabi yang bernama Hassan bin Tsabit radhiyallahu `anhu sempat menilai A’isyah Ummul Mu’minin berzina dan bahkan beliau ikut menebarkan berita tuduhan keji itu. Namun Allah Ta’ala membela kesucian A’isyah serta membantah tuduhan dan penilaian salah itu dengan menurunkan firman-Nya surat An-Nur: 11-21.
Demikianlah beberapa contoh peristiwa di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam masih hidup, adanya fatwa beberapa shahabat beliau yang salah dalam perkara halal dan haram dan dalam perkara menilai seseorang atau suatu kaum dengan negatif. Dan salahnya fatwa-fatwa tersebut diketahui setelah diadukan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wasallam dan atau setelah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang membatalkan fatwa-fatwa tersebut. Maka kalau fatwa-fatwa para shahabat itu tidak bisa dijadikan dalil dan ada kemungkinan salah, tentu lebih-lebih lagi fatwa para Ulama’ yang datang sesudah generasi Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menerangkan:
“Apabila terdapat nash (yakni dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits), maka hendaknya ulama berfatwa sesuai dengan apa yang tertera dalam dalil itu dan tidak berpaling kepada apa saja yang menyelisihinya dan tidak pula berpaling kepada omongan siapa pun yang menyelisihi dalil itu. Oleh karena itu tidak perlu seorang mufti menoleh kepada pendapatnya Umar bin Al-Khattab radhiyallahu `anhu dalam perkara wanita yang ditalaq tiga oleh suaminya. Karena pendapatnya Umar menyelisihi riwayat yang shahih dari Fathimah bintu Qais radhiyallahu `anha yang memberitakan keputusan Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam dalam masalah ini.[4] Dan tidak perlu seorang mufti melihat pendapatnya Umar bin Khatthab, ketika beliau menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh Ammar bin Yasir dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam tentang orang yang junub dapat menggantikan kewajiban mandinya dengan tayammum.[5] Tidak boleh pula seorang mufti melihat pada pendapat Umar bin Khatthab, dimana Umar berpendapat bahwa orang yang berpakaian ihram dalam haji dan umrah tidak boleh berbau wangi meskipun minyak wangi itu dioleskan ketika sebelum berihram. Karena pendapat Umar ini menyelisihi apa yang diriwayatkan dengan shahih oleh A’isyah tentang perbuatan Nabi shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam.[6] Juga tidak boleh mempertimbangkan pendapat Umar bin Al-Khatthab yang melarang orang yang berhaji ifrad atau berhaji qiran membatalkan niatnya dan merubah niatnya untuk berhaji tamattu’. Karena telah shahih riwayat pembolehan Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam untuk orang yang berihram merubah niat haji ifradnya menjadi haji tamattu’. Demikian pula seorang mufti tidak boleh menoleh kepada pendapat Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah, Abu Ayyub Al-Anshari, Ubay bin Ka’ab yang menyatakan tidak wajib mandi bagi orang yang berjima’ dan tidak keluar maninya. Pendapat demikian ini tidak boleh diterima karena adanya riwayat yang shahih dari A’isyah yang menceritakan bahwa beliau berjima’ dengan Nabi shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam dan menyudahi jima’nya dalam keadaan belum sempat keluar mani. Namun beliau bersama Nabi menjalankan kewajiban mandi junub..”. Demikian kami nukilkan keterangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dari kitab beliau berjudul I’lamul Muwaqqi’ien An Rabbil Alamin jilid 1 halaman 29 cet. Darul Fikr Beirut, th. 1397 H / 1977 M.
Maka fatwa Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam wa radhiyallahu `anhum harus diabaikan walaupun fatwa dari orang yang setingkat Umar bin Khatthab, ketika fatwa itu menyelisihi dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lebih-lebih lagi fatwa Ulama’ manapun sesudah generasi Shahabat. Tentu harus diabaikan pula bila menyelisihi dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sumber : http://www.alghuroba.org/180
0 komentar:
Posting Komentar