Nabi Muhammad shallallahu 'alahi wa sallam yang mendapatkan karunia dari Allah dengan memiliki kecakapan luar biasa (genius abqariyah) dan kepemimpinan agung (genius leadership - Qiayadah abqariyah) sebagai pahala berganda sepanjang masa, dituduh oleh kaum musyrikin dan musuh-musuh lainnya dengan tuduhan keji, yaitu beliau dikatakan gila.
Rupanya tiap "genius leader" yang lahir dalam tiap zaman, dicerca dan dituduh gila, karena kebanyakkan manusia tidak sanggup memahami kecakapan luar biasanya itu, ataupun karena iri hati dan dengki yang telah bersarang dalam dada sebahagian mereka.
Rasul sebagai "Genius Leader", seorang Qaaid Abqaariy", seorang pemimpin yang sangat luar biasa, tidak terlepas dari tuduhan demikian. Tetapi, Allah membela Rasul-Nya itu dengan menegaskan bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki moral tinggi dan tidak usah membisingkan diri dengan kegilaan musuh-musuhnya itu, yang berwatak pura-pura, dusta, doyan cerca dan lain-lain sifat keji-jahat.
Dalam membicarakan kepemimpinan luar biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai seorang Panglima Perang, Jenderal Mahmud Syeet Khaththab menulis analisa sebagai berikut :
"...... seperti tertera dalam buku-buku yang memuat ajaran-ajaran bagi suatu tentara modern, bahwa tugas pokok terpenting bagi seorang Panglima tersimpul dalam perintah-perintah yang dikeluarkannya.
Supaya perintah-perintahnya itu tepat dan benar, tidaklah cukup hanya dengan keberanian pribadi, tidak pula hanya dengan cita yang kuat membaja dan juga tidak hanya dengan tanggung jawab pasti, tetapi di atas segala itu dia harus menguasai secukupnya dasar-dasar ilmu peperangan, sanggup melahirkan keputusan cepat-jelas dan memiliki daya cita yang berwatak, yang tidak berdaya oleh kilatnya kemenangan dan citanya tidah terpatahkan oleh bayangan kekalahan; dia berlaku dalam acuan tabiat manusia.
Seorang Panglima baru mungkin terpelihara jiwa kekuatannya dan terlaksana segala perintahnya, dengan adanya kepercayaan dan kecintaan dalam dada pengikutnya terhadap dia.
Kesaktian pribadi, pengetahuan tentang watak manusia, kepastian pendapat yang berimbang dan saling pengertian dengan para pengikut, adalah faktor-faktor moral bermutu untuk menciptakan kemampuan perang dan keahlian tentara. Karena itu, menjadi kewajiban bagi seorang Panglima mempergunakan segala kesempatan terluang guna berhubungan dengan para perwira bawahan dan pasukan-pasukannya, untuk mengetahui sifat-sifat dan daya mampu mereka.
Inilah dia sifat-sifat ideal bagi seorang Panglima, seperti tertera dalam buku Al-Khidmat Al-Safariyah. Di samping sifat-sifat tersebut, sebahagiaan sumber ketentaraan modern menambahkan lagi syarat kesanggupan pisik bagi seorang Panglima agar sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan dalam peperangan.
Sesungguhnya sifat-sifat ideal bagi seorang Panglima, yaitu :
1. Kesanggupan mengeluarkan perintah dengan cepat dan tepat.
2. Keberanian pribadi.
3. Kemauan yang kuat membaja.
4. Kesanggupan tanggung jawab pasti.
5. Pengetahuan tentang ilmu dasar peperangan.
6. Ketahanan jiwa yang tidak terombang-ambing oleh kemenangan dan kekalahan.
7. Kejauhan pandangan.
8. Pengetahuan tentang jiwa dan kemampuan para pengikutnya.
9. Kepercayaan timbal balik antara dia dengan pasukan-pasukannya.
10. Saling cinta kasih dengan bawahannya.
11. Kepribadian yang mempunyai daya pengaruh.
12. Kekuatan pisik.
13. Memiliki masa lalu yang baik.
Inilah dia sifat ideal bagi seorang Panglima luar biasa. Ia adalah hasil dari mempelajari kepribadian para Panglima pilihan dalam sejarah. Karena itu, ia adalah kumpulan kelebihan banyak pribadi bukan seorang pribadi, karena memang tidak mungkin berkumpul dalam diri seorang pribadi.
Tetapi, semua sifat ideal ini adalah sedikit sekali bila dibandingkan dengan sifat-sifat Rasul, di sana ada lembaran-lembaran lain yang menghiasi sifat-sifat Rasul, yang belum pernah terjangkau oleh buku-buku dasar ilmu ketentaraan, karena sifat-sifat utama itu sukar dimiliki oleh para Panglima biasa, bahkan dia itu di atas kemampuan manusia pada umumnya ....." (lihat Ar-Rasulul Al-Qaaid, cetakan ke III. Daar Al-Qalam, Kairo tahun 1964 halaman 427-428).
0 komentar:
Posting Komentar