Kelemahlembutan adalah akhlak yang mulia. Ia berada di antara dua akhlak yang rendah dan jelek, yaitu kemarahan dan kebodohan. Bila seorang hamba menghadapi masalah hidupnya dengan kemarahan dan emosional, akan tertutuplah akal dan pikirannya yang akhirnya menimbulkan perkara-perkara yang tidak di ridlai Alah Ta'ala dan Rasul-Nya. Dan jika hamba tersebut menyelesaikan masalahnya dengan kebodohan dirinya, niscaya ia akan dihinakan manusia. Namun jika ia hadapi dengan ilmu dan kelemah lembutan, ia akan mulia di sisi Allah Ta'ala dan makhluk-makhluk-Nya.
Orang yang memiliki akhlak lemah lembut ini, Insya Allah akan dapat menyelesaikan problema hidupnya tanpa harus merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Melatih diri untuk dapat memiliki akhlak mulia ini dapat dimulai dengan menahan diri ketika marah dan mempertimbangkan baik buruknya suatu perkara sebelum bertindak. Karena setiap manusia tidak pernah terpisah dari problema hidup, jika ia tidak membekali dirinya dengan akhlak ini, niscaya ia akan gagal untuk menyelesaikan problemanya.
Demikian agungnya akhlak ini hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memuji shahabatnya Asyaj Abdul Qais dengan sabdanya:
"Sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai Allah yakni sifat lemah lembut (sabar) dan ketenangan (tidak tergesa-gesa)." (HR. Muslim).
Akhlak mulia ini terkadang diabaikan oleh manusia ketika amarah telah menguasai diri mereka, sehingga tidakannya pun berdampak negatif bagi dirinya ataupun bagi orang lain.
Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mengingatkan dari sifat marah yang tidak pada tempatnya, sebagaimana beliau bersabda kepada seorang shahabat yang meminta nasehat:
"Janganlah kamu marah. "Dan beliau mengulang berkali-kali dengan sabda: "Jangan kamu marah."" (HR. Bukhori).
Dari hadits ini diambil faedah bahwa marah adalah pintu kejelekan, yang penuh dengan kesalahan dan kejahatan, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan kepada shahabatnya itu agar tidak marah. Tidak berarti manusia dilarang marah secara mutlak. Namun marah yang dilarang adalah marah yang disebabkan oleh dorongan hawa nafsu yang memancing pelakunya bersikap melampaui batas dalam berbicara, mencela, mencerca dan menyakiti saudaranya dengan kata-kata yang tidak terpuji, yang mana sikap ini menjauhkannya dari kelemah lembutan.
Di dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Bukanlah dikatakan seorang yang kuat dengan bergulat, akan tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah." (Muttafaqun 'alaihi)
Ulama telah menjelaskan berbagai cara untuk menyembuhkan penyakit marah yang tercela yang ada pada seorang hamba, yaitu:
1. Berdo'a kepada Allah Azza wa Jalla yang membimbing dan menunjuki hamba-hamba-Nya ke jalan yang lurus dan menghilangkan sifat-sifat jelek dan hina dari diri mereka. Allah berfirman:
"Berdo'alah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan." (Ghafir: 60)
2. Terus menerus berdzikir pada Allah seperti membaca Al-Qur'an, bertasbih, bertahlil dan istighfar, karena Allah telah menjelaskan bahwa hati manusia akan tenang dan tentram dengan mengingat-Nya. Dia berfirman:
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram." (Ar-Ra'd: 28)
3. Mengingat nash-nash yang menganjurkan untuk menahan marah dan balasan bagi orang yang mampu menahan amarahnya, seperti sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barang siapa yang menahan amarahnya sedangkan ia sanggup untuk melampiaskannya, (kelak di hari kiamat, pent) Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk-Nya hingga menyuruhnya memilih salah satu dari bidadari surga, dan menikahkannya dengan hamba tersebut sesuai dengan kemauannya." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Shahihul Jami' no. 6398)
4. Merubah posisi ketika marah, seperti jika ia marah dalam keadaan berdiri maka hendaklah ia duduk, dan jikalau ia duduk hendaklah ia berbaring, sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
"Apabila salah seorang di antara kalian marah sedangkan ia dalam posisi berdiri, maka hendaklah ia duduk. Kalau telah reda atau hilang marahnya (maka cukup dengan duduk saja, pent), dan jika belum hendaklah ia berbaring." (Al-Misykat 5114)
5. Berlindung dari syaithon dan menghindar dari sebab-sebab yang akan membangkitkan kemarahannya.
Demikianlah jalan keluar untuk selamat dari marah yang tercela. Dan betapa indahnya prilaku seorang muslim jika dihiasi dengan kelemah lembutan dan kasih sayang, karena tidaklah kelemah lembutan berada pada suatu perkara melainkan akan membuatnya indah. Sebaliknya, bila kebengisan dan kemarahan ada pada suatu urusan niscaya akan menjelekkannya. Yang demikian ini telah disabdakan oleh Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits berikut:
"Tidaklah kelembutan itu berada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali akan menjadikannya jelek." (HR. Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai kelembutan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyenangi kelembutan dalam segala urusan. Dan Dia memberikan pada kelembutan apa yang tidak diberikan-Nya kepada kebengisan." (HR. Muslim)
Bersegeralah menghiasi diri dengan akhlak terpuji yang dimiliki Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala ini. Dan jauhilah kemarahan, kebengisan dan ketidak ramahan, karena yang demikian akan menghinakan derajat pelakunya dan membuat dosa di sisi Allah Ta'ala. Ingatlah selalu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barangsiapa yang dihalangi untuk berakhlak lembut, maka ia akan dihalangi dari seluruh kebaikan." (HR. Muslim)
Wallahu a'lamu bish-shawwaab.
Dikutip dari Majalah Salafy edisi XXXII
0 komentar:
Posting Komentar